Sabtu 12 Oct 2024 12:00 WIB

OJK Dorong BPRS Jadi Bank Syariah, tapi Begini Pertimbangan MUI

Muhammadiyah kritis terhadap dorongan OJK untuk merger BPRS

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Erdy Nasrul
Wakil Ketua Umum MUI, Anwar Abbas.
Foto: Republika.
Wakil Ketua Umum MUI, Anwar Abbas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Anwar Abbas menyampaikan keberatannya terhadap kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mendorong penggabungan seluruh Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS) yang merupakan amal usaha Muhammadiyah. Anwar Abbas menegaskan bahwa perbedaan budaya korporasi di setiap BPRS amal usaha Muhammadiyah dapat mengakibatkan masalah serius jika tetap dipaksakan.

Ia menjelaskan bahwa setiap BPRS memiliki latar belakang sejarah dan kultur yang berbeda, sehingga upaya penggabungan tidak sejalan dengan realitas yang ada. "Secara teoritis, merger memang mudah, tetapi implementasinya dapat menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan," ujarnya saat ditemui di Ijtima Sanawi Dewan Pengawas Syariah Tahun 2024 di Jakarta, Jumat (11/10/2024).

Baca Juga

Anwar Abbas pun khawatir jika nantinya ada kendala dan masalah di tengah proses. "Jika kami tidak mampu mengatasi masalah yang muncul, apakah OJK akan bertanggung jawab? Pengawasan OJK tidak bisa bersifat day-to-day," tanya Anwar.

Seharusnya, lanjut Anwar Abbas, OJK memberikan dukungan yang lebih konstruktif dengan pendampingan bagi masing-masing BPRS. Menurutnya, upaya tersebut akan jauh lebih efektif daripada memaksa untuk melakukan merger. Muhammadiyah, sambung Anwar Abbas, sudah terbiasa dengan pluralisme dan keberagaman dalam amal usahanya. Bahkan hal tersebut telah terbukti dalam pengelolaan perguruan tinggi yang tersebar di berbagai daerah.

“Coba kalau dihitung, di Jakarta saja ada berapa Perguruan Tinggi Muhammadiyah, ada UMJ, UHAMKA, dan masih ada beberapa lagi,” rincinya.

Sebagai langkah konkret, Anwar menyatakan bahwa Muhammadiyah akan mengirimkan surat resmi kepada OJK untuk menyampaikan keberatan ini dan meminta adanya diskresi dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. "Kami ingin OJK memahami kondisi unik setiap BPRS sebelum mengambil keputusan yang dapat berdampak besar," tegasnya.

Sebagai informasi, dalam POJK 7/2024 yang berlaku sejak 30 April 2024, tertulis secara jelas aspek kelembagaan BPR atau BPR Syariah mulai dari pendirian, kepemilikan, kepengurusan, jaringan kantor, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan, hingga pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham. Salah satu yang tertulis adalah perihal penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan, termasuk kewajiban konsolidasi bagi BPR dan BPR Syariah yang berada dalam kepemilikan Pemegang Saham Pengendali yang sama. Kebijakan tersebut diharapkan dapat secara cepat memperkuat permodalan, memastikan kecukupan infrastruktur teknologi informasi, memperkuat alat penerapan manajemen risiko dan tata kelola, sehingga dapat mendorong penguatan daya saing industri BPR dan BPR Syariah. POJK 7/2024 juga mendorong semangat efisiensi lembaga jasa keuangan yang memperkenankan Lembaga Keuangan Mikro untuk melakukan aksi penggabungan dengan BPR atau BPR Syariah.

POJK ini merupakan upaya OJK untuk terus meningkatkan pengawasan secara optimal, mengingat berdasarkan hasil pengawasan, OJK menemukan beberapa kelemahan struktural termasuk fraud, sehingga BPR atau BPR Syariah tersebut harus ditutup demi penyehatan sistem perbankan dan perlindungan konsumen. Diharapkan, POJK ini dapat meningkatkan level of playing field BPR dan BPR Syariah serta memperkuat kapasitas permodalan industri BPR dan BPR Syariah. OJK meyakini kebijakan konsolidasi BPR dan BPR Syariah dapat menjadikan industri lebih efisien dan semakin berkontribusi bagi perekonomian dan masyarakat.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement