KINGDOMSRIWIJAYA – Politikus senior Akbar Tanjung saat menjabat Ketua Dewan Penasihat DPP Partai Golkar pada tahun 2011 menyatakan, “Politik pencitraan bagi sebuah parpol maupun bakal calon presiden (capres) merupakan hal yang tak terhindarkan untuk menjaga sekaligus meningkatkan elektabilitas”.
Apakah hal yang sama berlaku terhadap calon kepala daerah yang ikut berkontestasi pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024? Pasti dong. Harus diingat bahwa politik, dalam demokrasi saat ini bukan hanya menjadi ranah pertarungan gagasan dan ideologi, tetapi juga telah berubah menjadi palagan atau pertempuran pencitraan. Kok bisa?
Sebelum membahas apa itu politik pencitraan mari bersepakat terlebih dahulu bahwa politik pencitraan adalah realitas yang tidak bisa dihindari dalam era demokrasi modern. Pada era informasi digital saat ini, coba perhatikan penampilan para calon kepala daerah yang menonjol bukan karena gagasan atau program kerja yang mereka tawarkan, melainkan karena citra yang mereka ciptakan melalui media massa, media sosial, iklan, dan perangkat komunikasi politik lainnya.
Menurut Jeffrie Geovanie dalam “Politik Pencitraan Memakan Korban” (2011), setidaknya ada tiga cara dalam membangun citra atau pencitraan politik. Pertama, “media framing”. Kedua, “political branding”; dan ketiga, “political marketing”. Dengan ketiga cara ini, sesuatu yang biasa-biasa saja bisa menjadi luar biasa, sesuatu yang buruk bisa menjadi baik.
Bagi wartawan senior Goenawan Mohamad di Majalah Tempo, 27 Juli 2008 menulis, “Kehidupan politik telah berubah menjadi lapak dan gerai, kios dan show-room. Sebuah masa yang menempatkan hasil jajak pendapat umum jadi ukuran yang lebih penting ketimbang kebenaran. Dan penampilan yang atraktif, lebih efektif ketimbang prestasi dan gagasan sosial yang menggugah”.
Menurut Anang Anas dalam “Komunikasi Politik untuk Pencitraan Konsep, Strategi dan Pencitraan Politik” (2017), pencitraan yang awalnya identik dengan kegiatan kehumasan (public relations) dalam dunia bisnis, bergeser pada kegiatan politik, sehingga dinamika perpolitikan erat dengan istilah pencitraan. Salah satu tujuan komunikasi politik adalah membentuk citra yang baik pada khalayak. Citra terbentuk berdasarkan informasi yang diterima, baik langsung maupun tidak langsung, misalnya dari media.
“Pencitraan berasal dari kata citra yang didefinisikan para pakar secara berbeda-beda dan pada hakikatnya sama maknanya”, tulis Anang Anas. Pemaknaan citra merupakan hal yang abstrak, karena citra tidak dapat diukur secara sistematis meskipun wujudnya dapat dirasakan baik positif maupun negatif. Penerimaan dan tanggapan, baik positif maupun negatif tersebut datang dari publik atau khalayak. Citra terbentuk sebagai akumulasi dari tindakan maupun perilaku individu yang kemudian mengalami suatu proses untuk terbentuknya opini publik yang luas.
Citra dan pencitraan, menurut Yasraf Amir Piliang seorang pemikir sosial dan kebudayaan dalam “Pasar Bebas Politik” (2012), yang sejatinya merupakan cara kerja kapitalisme kini jadi cara kerja politik demokratis. Akibatnya, strategi pengemasan, pencitraan, hiburan, seduksi, sensualisme, eye catching, dan simulasi kini jadi ”bahasa politik”.
Arie Sujito dalam “Pencitraan dan Emansipasi Pemilih” (2013) melengkapi dengan pernyataan, “Politik pencitraan ada yang berbasis survei”. Politik pencitraan model yang satu ini populer di Indonesia karena dua hal. Pertama, kemampuan rekayasa dan analisis olah realitas melalui ”angka”, seperti produk survei dan polling atas suatu kandidat. Kedua, pemanfaatan media massa yang masif dengan membangun citra, mampu merebut ruang ”diskursus”.
“Politik pencitraan berbasis survei biasanya juga mengandalkan bumbu analisis bombastis, melampaui realitas sesungguhnya. Cara semacam itu masih terus digandrungi banyak politisi dan tim sukses dalam meraup dukungan dalam elektoral”, tulis Sosiolog dari UGM.
Bentuk Pencitraan
Politik pencitraan dalam prakteknya bisa dilihat dari beberapa bentuk pencitraan yang diciptakan atau melibatkan kandidat kepala daerah. Menurut Kamaruddin Hasan dalam “Komunikasi Politik dan Pecitraan (Analisis Teoritis Pencitraan Politik di Indonesia)” (2009), biasanya bentuk pencitraan politik yang dilakukan terbagi dalam dua strategi, yaitu Incumbent vs Challenger. Yang pertama menunjukkan pencapaian sehingga perlu untuk diteruskan. Adapun yang kedua menunjukkan kegagalan-kegagalan kebijakan pemerintah atau pemerintah daerah periode sebelumnya sehingga tema kampanyenya adalah perubahan untuk digantikan secara konstitusional.
Dalam prakteknya politik pencitraan sang kandidat bisa terlihat dari beberapa bentuk, di antaranya, seperti “citra merakyat”, “citra pemimpin tegas dan kuat” dan “citra religius dan berintegritas”.
Citra merakyat adalah salah satu bentuk pencitraan yang paling sering dijumpai saat musim pilkada tiba. Sang kandidat “berakting” untuk menunjukkan bahwa mereka dekat dengan rakyat pemilih dan memahami kebutuhan rakyat kecil. Maka sang kandidat datang berkunjung ke pasar tradisional ada yang menyebutknya blusukan, bertanya ini dan itu, mendengar keluhan pedagang dan pembeli seperti tentang harga-harga kebutuhan pokok yang mahal, sampai berfoto bersama pedagang kaki lima, dan membagikan bantuan sembako secara langsung.
Faktanya, tindakan semacam ini sering kali hanya dilakukan untuk keperluan kampanye. Pasca pilkada kemana sang kandidat karena tak terlihat di pasar, kondisi pasar yang memprihatinkan tak kunjung berubah. Citra merakyat tersebut tidak melahirkan kebijakan yang nyata dan berkelanjutan, alasannya “Pasar akan kita renovasi tahun depan” faktanya sampai akhir masa jabatan itu akan menjadi “gimmick” politik belaka.
Kemudian tentang citra pemimpin tegas dan kuat hanya ditampilkan untuk menampilkan diri sebagai pemimpin yang tegas dan kuat. Pola pencitraan ini ditampilkan dengan retorika yang keras, menekankan pentingnya disiplin, penegakan hukum, dan ketegasan dalam mengambil keputusan. Dibumbui dengan “akting” aksi-aksi demonstratif, seperti inspeksi mendadak (sidak) ke kantor pemerintah atau proyek pembangunan, untuk menunjukkan bahwa mereka serius dalam menangani masalah.
Ternyata semua itu hanya tampak di permukaan dan bukan cermin gaya kepemimpinan sang kandidat yang asli. Apa yang dilakukannya agar menjadi perhatian media massa termasuk media sosial. Sang kandidat berusaha tampil agar bisa menjadi media darling belaka.
Yang berikutnya adalah citra religius dan berintegritas. Pencitraan model ini klerap dijumpai pada daerah, terutama yang memiliki basis pemilih religius yang kuat, sang kandidat beranggapaan citra sebagai pemimpin yang religius dan berintegritas sangat berpengaruh untuk mendulang suara pemilih.Kandidat memanfaatkan identitas agama mereka atau menampilkan diri sebagai pemimpin yang taat beragama untuk menarik dukungan dari kelompok-kelompok keagamaan. Para pengamat politik menyebutnya sebagai politik identitas.
Bagaimana pola pencitraan yang satu ini bisa terlihat oleh para pemilih, salah satunya dibangun melalui retorika keagamaan, partisipasi dalam acara-acara keagamaan, atau bahkan melalui simbol-simbol agama yang ditampilkan dalam kampanye. Namun, seperti bentuk pencitraan lainnya, citra religius ini sering kali tidak mencerminkan integritas sebenarnya dari kandidat. Ada banyak kasus di mana pemimpin yang tampaknya religius dan berintegritas akhirnya terlibat dalam skandal korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan setelah terpilih.
Survei Pencitraan
Semua bentuk dan praktek pencitraan politik seperti blusukan menurut pakar ekonomi Rizal Ramli (alm), adalah fenomena politik yang lebih menonjolkan pencitraan ketimbang politik pencerdasan. Rizal Ramli mantan Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Joko Widodo membandingkannya dengan masa awal kemerdekan, jika para perintis kemerdekaan zaman dulu, mereka adalah pemimpin pencerdasan, sedangkan para pemimpin sekarang adalah pemimpin pencitraan.
Rizal Ramli benar, pada masa Pilkada banyak calon kepala daerah mengandalkan politik pencitraan sebagai cara mendongkrak elektabilitas. Melalui politik pencitraan, sang kandidat membuat pemilih terjebak dalam pilihan yang dangkal. Ketika pemilih hanya melihat citra yang ditampilkan oleh kandidat tanpa melakukan penilaian yang lebih mendalam dan melihat rekam jejaknya, maka yang terpilih adalah kandidat yang tidak kompeten tidak memiliki kapasitas dalam memimpin dan membangun daerahnya.
Jadilah pemilih tidak masuk dalam jebakan politik pencitraan yakni cenderung memilih berdasarkan perasaan atau impresi singkat yang mereka peroleh dari kampanye media. Tetaplah waspada, jadilah pemilih independen dan cerdas, walau pemilih seperti ini sering dipandang dengan sinis bahkan disebut naif.
Jangan pula terjebak dalam politik pencitraan yang berbasis survei atau polling yang ngetren. Menurut Arie Sujito, politik pencitraan model ini memiliki dua kelemahan mendasar. Pertama, pola itu tidak mampu mengubah harapan demokrasi yang berkualitas. Itu karena kekuasaan yang terbangun hasil ”olah angka” biasanya tak sehebat yang dicitrakan: kenyataan tak seindah tafsir angka. Kedua, pemilih yang kian jenuh dalam menyaksikan kepalsuan politik. Mereka kadang memiliki nalar yang berbeda dengan politisi, terutama ketika menemukan alternatif baru dalam figur perubahan.
Sisi lain dari politik pencitraan berpotensi mengaburkan isu-isu substansial yang seharusnya menjadi fokus utama dalam Pilkada. Ketika perhatian publik terlalu banyak diarahkan pada penampilan, citra, dan tindakan simbolis, isu-isu penting seperti pembangunan infrastruktur, layanan publik, pendidikan, dan kesejahteraan sosial bisa terabaikan.
Calon kepala daerah yang lebih fokus pada pencitraan cenderung menghindari debat kebijakan yang mendalam dan lebih memilih mempromosikan diri mereka melalui narasi yang dangkal tetapi populer di kalangan pemilih. Proses politik yang terjadi lebih tentang siapa yang yang paling menarik, paling ganteng, paling cantik di mata publik daripada siapa yang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.
Berdasarkan pengalaman dari banyak kontestasi politik yang telah berlangsung pasca reformasi, sebagai pemilih harus waspada dengan kandidat yang terlalu fokus pada pencitraan karena berpotensi merusak kualitas demokrasi. Dalam demokrasi yang sehat, proses politik seharusnya ditentukan oleh perdebatan tentang gagasan, program kerja, dan kebijakan yang diusulkan oleh para calon kepala daerah. Jangan terjebak pada politik pencitraan yang dapat menyesatkan pemilih.
Jadilah pemilih yang tidak hanya fokus pada penampilan luar atau persona yang dibangun secara artifisial oleh calon kepala daerah. Menjadi pemilih independen dan cerdas adalah solusi keluar dari jebakan politik pencitraan. (maspril aries)