REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pengawasan Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Lufaldy Ernanda mengatakan, memperbanyak energi bersih merupakan salah satu cara untuk meningkatkan daya saing pasar karbon Indonesia, terutama di wilayah Asia. Ia mengatakan banyak investor dari luar negeri yang ingin menanamkan modal mereka di Indonesia, tapi mereka ragu karena mempertimbangkan seberapa bersih sumber energi yang tersedia.
“Investor itu sebenarnya banyak yang mau masuk ke Indonesia, tapi ternyata salah satu poin yang mereka lihat adalah seberapa bersih energi kita,” ujar Lufaldy Ernanda di Jakarta, Kamis (17/10/2024).
Ia pun meminta para pemangku kepentingan di Indonesia untuk lebih fokus mengembangkan berbagai sumber energi bersih untuk menarik investasi. “Jangan sampai kalah sama Vietnam contohnya, karena mereka fokus dengan energi bersih Kemudian banyak-banyak renewable energy (sumber energi terbarukan) dibangun, sehingga investasi itu akan lebih menarik,” ucapnya.
Lufaldy menyatakan kini sebenarnya telah banyak pelaku industri di Indonesia yang melakukan perhitungan baseline emisi. Pihaknya pun optimistis Indonesia dapat mengadopsi ekosistem perdagangan karbon yang lengkap pada awal tahun mendatang.
“Kta lihat nanti, di awal 2025, mudah-mudahan nanti kalau semuanya berjalan lancar, kita akan mengadopsi suatu perdagangan karbon yang ekosistemnya sangat lengkap,” imbuhnya.
Menurut Aplikasi Perhitungan dan Pelaporan Emisi Ketenagalistrikan (APPLE-GATRIK) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, volume transaksi karbon PLTU Batu Bara melalui Sistem Perdagangan Emisi (Emission Trading System/ETS) mencapai 7,04 miliar ton CO2 ekuivalen (CO2e) dengan nilai transaksi Rp 82,87 miliar pada 2023.
Sementara itu, OJK mencatat sejak diluncurkannya bursa karbon Indonesia pada 26 September 2023 hingga 27 September 2024, nilai perdagangan bursa karbon telah mencapai Rp 37,06 miliar dengan volume perdagangan karbon mencapai 613.894 ton CO2e.