REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salman al-Farisi adalah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Sebagai seorang Muhajirin, ia termasuk penghuni pelataran Masjid Nabawi (suffah). Itu menandakan, dirinya tidak mempunyai rumah sebagai tempat tinggal.
Tibalah waktunya Salman al-Farisi ingin menikah. Selama ini, hatinya diam-diam condong pada seorang wanita salehah dari kalangan Anshar.
Akan tetapi, dirinya belum berani melamar Muslimah tersebut. Sebagai seorang pendatang dari luar Arab, ia merasa kurang percaya diri.
Bagaimana adat melamar wanita menurut tradisi masyarakat Madinah? Ia belum bisa memastikan.
Yang jelas, jangan sampai melangkah tanpa persiapan yang matang. Karena itu, Salman al-Farisi berinisiatif untuk meminta bantuan dari seorang Anshar, yakni Abu Darda.
Begitu mengetahui maksud kedatangan Salman, Abu Darda mengucapkan hamdalah. Sosok yang bernama asli Uwaimir bin Malik al-Khazraji itu turut senang melihat seorang Muslim yang saleh hendak menyempurnakan setengah agamanya.
Selama beberapa hari, segala persiapan dilakukan. Barulah kemudian, Salman dengan ditemani Abu Darda mendatangi rumah keluarga sang gadis yang dimaksud.
Mereka diterima dengan baik oleh tuan rumah.
“Saya adalah Abu Darda dan ini adalah saudara saya, Salman, dari Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam. Ia pun turut dalam jihad dan beramal di sisi Rasulullah SAW. Bahkan, beliau menganggapnya sebagai anggota ke luarga sendiri,” ujar Abu Darda dengan fasihnya.
Setelah perkenalan, ia pun menyampaikan maksud kedatangan. Tujuannya bertamu ialah mewakili Salman untuk melamar putri sang tuan rumah. Rupanya bapak si gadis itu merasa senang sekali.
Sebuah kehormatan bagi kami menerima sahabat Rasulullah SAW yang mulia. “Kami pun senang jika memiliki menantu dari kalangan sahabat,” ujar ayah si wanita.
Namun, sang tuan rumah tidak langsung memberi keputusan. Seperti yang diajarkan Rasulullah SAW, ia terlebih dahulu menanyakan pendapat putrinya tentang lamaran tersebut.