REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Industri sawit Indonesia menegaskan akan mematuhi Undang-Undang Deforestasi Uni Eropa (EUDR). Namun, Uni Eropa diharapkan juga dapat mempertimbangkan kondisi di Indonesia.
EUDR disepakati pada Juni 2023 dan seharusnya sudah mulai berlaku pada 30 Desember tahun ini. Namun, para duta besar Uni Eropa memutuskan untuk menunda Pelaksanaan undang-undang deforestasi selama satu tahun. Dalam keputusan yang diambil pada Rabu (16/10/2024), Uni Eropa memutuskan implementasi hukum yang akan menandai reformasi penggundulan hutan itu akan dilakukan pada Desember tahun depan.
Komisi Eropa mengatakan deforestasi merupakan sumber emisi gas rumah kaca terbesar kedua yang menyebabkan perubahan iklim setelah pembakaran bahan bakar fosil.
EUDR akan mewajibkan perusahaan-perusahan yang mengimpor komoditas antara lain daging sapi, kopi, minyak sawit dan karet untuk membuktikan rantai pasokan mereka tidak berkontribusi pada deforestasi.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, mengatakan pihaknya berusaha mematuhi regulasi Uni Eropa terkait Undang-Undang Deforestasi Uni Eropa (EUDR) selama satu tahun ke depan.
Namun, ia juga meminta Uni Eropa memahami Indonesia memiliki undang-undang yang juga harus dipatuhi oleh para pelaku usaha. Martono berharap, dalam satu tahun ke depan, akan ada titik temu antara kedua belah pihak.
"Satu tahun ini paling tidak kami berusaha mematuhi aturan EUDR, tetapi kami juga minta EU mau menerima dan mengerti Indonesia juga memiliki UU yang harus dipatuhi oleh para pelaku usaha. Paling tidak satu tahun terjadi titik temu," kata Eddy Martono, Kamis (18/10/2024).
Ia menambahkan perusahaan kelapa sawit di Indonesia sebenarnya tidak menghadapi masalah besar terkait pembukaan lahan baru. Hal ini karena sejak 2011, sudah ada moratorium pembukaan lahan, yang diperkuat dengan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2019 yang melarang pembukaan lahan baru meskipun perusahaan telah memiliki izin.
"Kalau perusahaan tidak ada masalah karena sudah ada moratorium sejak 2011, bahkan di tahun 2019 ada Inpres No. 5 yang sama sekali tidak bisa melakukan pembukaan lahan walaupun sudah ada izin," tambahnya.
Namun, Eddy menyoroti bahwa tantangan terbesar justru berasal dari masyarakat yang masih melakukan pembukaan lahan setelah moratorium berlaku. Meskipun moratorium bagi perusahaan sudah diberlakukan, tidak ada moratorium yang sama bagi masyarakat. Akibatnya, setelah 31 Desember 2020, banyak masyarakat yang masih membuka lahan, dan aktivitas ini berpotensi melanggar undang-undang anti-deforestasi.
"Yang menjadi masalah adalah masyarakat tidak ada moratorium. Jadi setelah 31 Desember 2020 masih banyak masyarakat yang membuka lahan, ini yang terkena UU anti deforestasi," katanya.
Lebih lanjut, Eddy menjelaskan bahwa perusahaan kelapa sawit juga tidak dapat menerima buah dari masyarakat jika hasil tersebut akan diekspor ke Uni Eropa, karena melanggar ketentuan EUDR. "Perusahaan juga tidak bisa menerima buah masyarakat kalau akan diekspor ke EU," pungkasnya.
Permintaan GAPKI agar Uni Eropa memahami regulasi domestik Indonesia menjadi perhatian utama di tengah penerapan EUDR, yang bertujuan untuk menekan deforestasi global.