Ahad 20 Oct 2024 16:30 WIB

Memahami Gelar Pemimpin yang Diberikan Allah Untuk Nabi Ibrahim 

Nabi Ibrahim diuji Tuhan dengan beberapa kalimat dengan menugaskan perintah.

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Muhammad Hafil
Jamaah haji mengelilingi Kabah di Masjidil Haram, saat yang lain menonton Maqam Ibrahim, atau Stasiun Ibrahim, di sebelah kiri, di kota suci Mekah di Arab Saudi, Selasa, 5 Juli 2022. Arab Saudi diharapkan untuk menerima satu juta Muslim untuk menghadiri haji, yang akan dimulai pada 7 Juli, setelah dua tahun membatasi jumlahnya karena pandemi coronavirus.
Foto: AP Photo/Amr Nabil
Jamaah haji mengelilingi Kabah di Masjidil Haram, saat yang lain menonton Maqam Ibrahim, atau Stasiun Ibrahim, di sebelah kiri, di kota suci Mekah di Arab Saudi, Selasa, 5 Juli 2022. Arab Saudi diharapkan untuk menerima satu juta Muslim untuk menghadiri haji, yang akan dimulai pada 7 Juli, setelah dua tahun membatasi jumlahnya karena pandemi coronavirus.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Dalam Alquran, Allah SWT berfirman bahwa menjadikan Nabi Ibrahim Alaihissalam sebagai pemimpin (imam) bagi seluruh manusia. Dalam tafsirnya, gelar pemimpin tersebut tidak mungkin diberikan kepada orang yang memiliki sifat zalim. Mustahil pangkat pemimpin dari Allah itu diberikan kepada orang yang kotor jiwanya, tidak melaksanakan perintah Allah dan tidak menjauhi larangan Allah.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

Baca Juga

۞ وَاِذِ ابْتَلٰٓى اِبْرٰهٖمَ رَبُّهٗ بِكَلِمٰتٍ فَاَتَمَّهُنَّ ۗ قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا ۗ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْ ۗ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِى الظّٰلِمِيْنَ

(Ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “(Aku mohon juga) dari sebagian keturunanku.” Allah berfirman, “(Doamu Aku kabulkan, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.” (QS Al-Baqarah Ayat 124)

Nabi Ibrahim Alhissalam diuji Tuhan dengan beberapa kalimat dengan menugaskan perintah dan larangan, seperti membangun Ka'bah, membersihkannya dari segala macam kemusyrikan, mengorbankan anaknya Ismail Alaihissalam, menghadapi Raja Namrud, dan sebagainya. 

Menurut Mahmud Zahram, Nabi Ibrahim Alaihissalam telah diberi oleh Allah bermacam-macam pengalaman ujian dan cobaan. Dia diperintahkan Allah menyembelih anaknya, perjalanan pulang pergi antara Syam dengan Hijaz untuk melihat anak dan istrinya yang berada di kedua tempat itu, dan sebagainya. 

Allah tidak menerangkan macam-macam kalimat yang telah ditugaskan kepada Nabi Ibrahim. Hal ini memberi petunjuk bahwa tugas yang telah diberikan Allah itu adalah besar, berat dan banyak. Sekalipun demikian Nabi Ibrahim telah melaksanakan tugas dan beban itu dengan sebaik-baiknya yang membawanya ke tempat kedudukan yang sempurna. 

Perkataan, "Sesungguhnya Aku akan menjadikan kamu imam (pemimpin) bagi seluruh manusia," tidak ada hubungannya dengan kalimat yang sebelumnya, karena tidak ada kata penghubung (‘aṭf) pada permulaan kalimat tersebut. 

Menurut Muhammad Abduh, kalimat tersebut adalah kalimat yang berdiri sendiri, tidak ada hubungannya dengan kalimat yang sebelumnya. Maksudnya ialah bahwa pangkat imam (nabi dan rasul) adalah semata-mata pangkat yang dianugerahkan oleh Allah dan hanya Dia sendiri yang menetapkan kepada siapa pangkat itu akan diberikan-Nya. Tidak semua manusia dapat mencapainya sekalipun dia telah melaksanakan segala perintah dan menghentikan segala larangan Allah. 

Dengan perkataan lain, pangkat imam (pemimpin) yang dianugerahkan Allah kepada Nabi Ibrahim itu ditetapkan atas kehendak-Nya, bukan ditetapkan karena Nabi Ibrahim telah menyelesaikan dan menyempurnakan tugas yang diberikan kepadanya, agar dia menyadari bahwa pangkat yang diberikan Allah itu sesuai baginya, dan agar dia merasa dirinya mampu melaksanakan tugas dan memikul beban yang telah diberikan. Setelah dianugerahi pangkat "imam" itu, Nabi Ibrahim berdoa kepada Allah agar pangkat "imam" dianugerahkan pula kepada keturunannya di kemudian hari. 

Doa Nabi Ibrahim ini doa yang sesuai dengan sunatullah. Menurut sunatullah, anak dan keturunan sambungan hidup bagi seseorang. Suatu cita-cita yang tidak sanggup dicapai semasa hidup di dunia diharapkan agar anak dan keturunan dapat menyampaikannya. Tugas imam merupakan tugas yang suci dan mulia karena pemberian tugas itu bertujuan hendak mencapai cita-cita yang suci dan mulia pula. 

Nabi Ibrahim merasa dirinya tidak sanggup mencapai semua cita-citanya yang terkandung di dalam tugasnya selama hidup di dunia. Karena itu dia berdoa kepada Allah agar anak cucunya dianugerahi pula pangkat imam itu, sehingga cita-cita yang belum dapat dicapai semasa hidupnya dapat dilanjutkan dan dicapai oleh anak cucu dan keturunannya. 

Dari ayat di atas dapat dipahami pula bahwa cara Nabi Ibrahim berdoa sesuai dengan sunatullah sehingga merupakan cara berdoa yang benar dan termasuk doa yang dikabulkan Allah. 

Terbukti, di kemudian hari bahwa semua Rasul yang diutus Allah sesudahnya berasal dari keturunannya. Dari firman Allah, “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim” dapat dipahami bahwa di antara keturunan Nabi Ibrahim itu ada orang-orang zalim. Pada ayat lain Allah menerangkan bahwa keturunan Ibrahim itu ada yang zalim dan ada yang berbuat baik. 

Allah berfirman: Dan Kami limpahkan keberkahan kepadanya dan kepada Ishak. Di antara keturunan keduanya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang terang-terangan berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. (QS As-Saffat Ayat 113) 

Allah berfirman: Dan (Ibrahim) menjadikan (kalimat tauhid) itu kalimat yang kekal pada keturunannya agar mereka kembali (kepada kalimat tauhid itu). (QS Az-Zukhruf Ayat 28) 

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Nabi Ibrahim menjadikan kalimat tauhid sebagai pegangan bagi keturunannya. Jika di antara mereka ada yang mempersekutukan Allah, mereka diminta kembali kepada kalimat tauhid. "Zalim" (aniaya) itu bermacam-macam. Zalim terhadap diri sendiri ialah tidak melaksanakan perintah dan tidak meninggalkan larangan Allah sehingga mendapat kemurkaan dan azab Allah yang membawa bencana kepada diri sendiri. Zalim terhadap makhluk-makhluk Allah, seperti berbuat kerusakan di bumi, memutuskan silaturahmi, zalim terhadap manusia dan sebagainya. 

Dari perkataan “zalim” dapat dimengerti bahwa bagi seorang imam atau pemimpin tidak boleh ada sifat zalim. Mustahil pangkat itu diberikan kepada orang yang kotor jiwanya, orang-orang yang tidak melaksanakan perintah-perintah Allah dan tidak menghentikan larangan-larangan-Nya. (Tafsir Kementerian Agama)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement