REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Secara etimologis, amanah, iman, dan aman berasal dari akar yang sama, yaitu gabungan huruf-huruf ‘hamzah, mim’, dan ‘nun’. Pangkal maknanya pun sama, yakni ‘aman’, ‘tenteram’, atau ‘tidak merasa takut’.
Merujuk pada kitab Al-Mu’jam al-Araby al-Asasy, pertalian antara ketiga istilah itu pun begitu erat. Alhasil, iman tidak akan terwujud sempurna bila tidak ada amanah. Begitu juga sebaliknya.
Rasa aman dan ketenangan pun tidak akan terealisir kalau tidak ada iman dan amanah. Konsekuensi logisnya, seorang mukmin yang tidak amanah perlu dicurigai kesahihan imannya, demikian juga seorang yang amanah tapi tidak beriman, amanahnya adalah palsu yang didasari atas kepentingan pribadi, politik, atau kelompoknya.
Hal ini diungkapkan oleh satu hadis yang acap kali disampaikan Rasulullah dalam khutbahnya: "Tidak ada keimanan bagi seorang yang tidak amanah dan tidaklah ada manfaat beragama bagi orang yang tidak memegang janji" (HR Ahmad).
Amanah merupakan perasaan hati sanubari yang hidup, yang mendorong manusia untuk menunaikan hak-hak Allah dan hak-hak manusia serta melindungi semua amal perbuatan dari penyakit ifrath (berlebihan) dan tafrith (pengabaian). Amanah merupakan suatu keharusan dalam kehidupan ini.
Kepemimpinan dalam semua levelnya adalah tugas berat. Semakin tinggi level yang dipimpin semakin besar tanggung jawabnya.
Maka, hanya orang amanahlah yang mampu melaksanakan kepemimpinan secara bertanggung jawab, karena ia menyadari bahwa kepemimpinan adalah taklif (beban berat) dan bukan tasyrif (kehormatan).
Orang yang berprinsip demikian tidak merasa bangga bila diberi jabatan ataupun bersedih ketika diturunkan dari jabatannya. Ia tahu bahwa jabatan atau kepemimpinan adalah beban yang harus dipikulnya, bukan kesempatan untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya.
Semakin tinggi kadar keimanan seseorang, semakin besar sifat amanahnya dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab. Pada gilirannya, pengaruhnya pun akan semakin besar dalam menciptakan keamanan dan ketenteraman bawahan atau rakyat yang dipimpinnya.
Orang amanah adalah pembawa keamanan dan penebar kebajikan serta kedamaian bagi setiap individu dan masyarakat. Ia berusaha mengajak manusia pada petunjuk Allah dan perbaikan umat, serta membimbing ke arah kebahagiaan dunia dan akhirat.
Di negeri mana pun, bila mayoritas penduduk dan pejabatnya amanah, tidak ada pemerkosaan hak, kezaliman, manipulasi, kolusi, korupsi, intimidasi, dan tindakan-tindakan lain yang melawan hukum Allah.
Keamanan, ketenangan, dan ketenteraman senantiasa lahir bersama amanah dan keimanan. Rasa takut dan kegelisahan muncul akibat khianat dan kufur nikmat. Rasa aman itu nikmat, sedangkan rasa takut adalah musibah. Pokok pangkal kenikmatan manusia terdapat pada adanya ketenteraman dan kelapangan hidup.
Adapun pokok pangkal malapetaka terdapat pada rasa takut dan kesempitan hidup. Bila iman dan amanah ada dalam diri para pemimpin, rakyatnya pun akan hidup nyaman dan aman.
Rasulullah menegaskan dalam suatu hadis, Apabila amanah diabaikan, maka tunggulah masa kehancuran. Ditanyakan kepada Rasulullah, Apakah bentuk pengabaian amanah? Beliau menjawab, "Bila urusan diserahkan ke pada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya" (HR Bukhari).