Senin 21 Oct 2024 18:55 WIB

Ketimpangan Dana Masjid di Indonesia

Perlu adanya inventarisasi atau pemetaan kebutuhan masjid di seluruh Indonesia.

Masjid (ilustrasi)
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Masjid (ilustrasi)

Oleh : Rizqi Anfanni Fahmi (Dosen Program Studi Ekonomi Islam Universitas Islam Indonesia dan Mahasiswa Program Doktor Peradaban Islam UIN Raden Fatah Palembang)

REPUBLIKA.CO.ID, Dana masjid di Indonesia secara agregatif jumlahnya cukup besar. Jika kita melakukan estimasi kasar, katakanlah setiap masjid menghasilkan infak jumat rerata Rp 500 ribu, maka dalam sebulan ada dana masjid terkumpul Rp 2 juta. Jumlah ini kemudian dikalikan dengan jumlah masjid yang berjumlah 300 ribu bangunan kurang sedikit sesuai data Sistem Informasi Masjid (SIMAS) Kementerian Agama, maka hasilnya adalah Rp 600 miliar per bulan atau Rp 7,2 triliun per tahun.

Dari sisi saldo dana masjid, kita bisa mengestimasi secara kasar pula setiap masjid rerata memiliki saldo Rp 40 juta. Jumlah ini didapat dari penelitian penulis serta satu penelitian lain terkait jumlah saldo rerata masjid di Kota Yogyakarta dan Provinsi DIY. Bila dikalikan 300 ribu masjid, maka saldo rerata per masjid menjadi Rp 12 triliun.

Namun tentu saja ini hanya estimasi kasar namun cukup rasional jika kita bandingkan dengan estimasi penerimaan infak jumat di atas karena tidak jauh berbeda angkanya mengingat dana masjid tidak hanya berasal dari infak jumat. Dalam perhitungan kasar ini, belum termasuk sumbangan sukarela dari jamaah atau donasi khusus selama Ramadhan yang biasanya meningkat signifikan. Dengan demikian, potensi dana yang dimiliki oleh masjid-masjid di Indonesia sebetulnya jauh lebih besar.

Di luar jumlah dana masjid yang besar, ada sebuah hal yang menjadi pemandangan cukup umum di banyak wilayah, yaitu “permintaan” infak pembangunan masjid di pinggir-pinggir jalan.

Tidak sepenuhnya salah, namun pemandangan seperti ini terasa ironis jika melihat estimasi cacah dana masjid yang disebutkan di atas. Niat masyarakat yang melakukan hal tersebut memang baik, yakni mengajak masyarakat untuk berderma nyengkuyung membangun masjid.

Apalagi terdapat motivasi di kalangan umat Islam bahwa turut serta membangun masjid sama dengan membangun istana di surga. Motivasi ini sangatlah baik, namun yang perlu kita cermati adalah cara mengajak masyarakat untuk berderma.

Bukankah justru pandangan seperti “meminta-minta” tersebut justru menimbulkan persepsi yang kurang pas di mata umat lain seakan umat Islam harus sampai meminta-minta dengan cara seperti itu untuk mendapat derma. Sepelit itukah umat Islam, atau mungkin karena masyarakat banyak yang tidak mendapatkan akses lain untuk pendanaan pembangunan masjid?

Kita kembali pada besarnya dana masjid di atas. Dari fenomena tersebut, salah satu hal yang bisa kita tafsirkan, yaitu terjadinya ketimpangan, kesenjangan, atau disparitas persebaran dana masjid di Indonesia. Masjid-masjid di perkotaan secara rasional menyumbang pangsa dana masjid terbesar.

Bahkan dana masjid yang idle atau nganggur pun jumlah ada yang sampai milyaran. Namun di sisi lain, masih banyak masjid yang kesulitan mencari pendanaan untuk pembangunan. Pertanyaannya, berarti selama ini apakah relasi antar masjid di Indonesia tidak berjalan sehingga terjadi ketimpangan seperti itu? Bukankah dana masjid itu milik umat secara umum, bukan hanya umat yang berada di bawah naungan masjid tertentu? Memungkinkan atau tidak jika masjid “kaya” memberikan subsidi kepada masjid masih berkekurangan?

Sebagai langkah awal, perlu adanya inventarisasi atau pemetaan kebutuhan masjid di seluruh Indonesia. Dengan data ini, akan lebih mudah untuk memahami di mana titik-titik yang mengalami kekurangan dana yang signifikan dan masjid mana saja yang memiliki surplus. Dengan demikian, upaya redistribusi dana bisa dilakukan secara lebih efektif dan adil.

Agaknya hal tersebut belum banyak terwujud di Indonesia karena selain karena kondisi geografis yang teramat luas, juga dipengaruhi faktor psikologis dan sosiologis tentang “kepemilikan dana masjid”. Menurut hasil studi yang penulis lakukan, para pengurus masjid yang memiliki surplus dana masjid besar cenderung “berat” untuk berbagi dengan masjid lainnya karena berpendapat bahwa dana masjid yang terhimpun harus kembali kepada masyarakat sekitar masjid saja.

Bahkan ada salah satu masjid yang penulis membaca laporan keuangannya, hampir seluruhnya untuk perawatan fisik masjid dan terus menambah bangunan masjid. Padahal sekilas sudah cukup baik fasilitas dan fisik masjid tersebut. Mungkin para pengurus masjid bisa berdalih bahwa mereka juga membutuhkan dana masjid tersebut suatu saat untuk pembangunan fisik.

Di sisi lain katakanlah untuk membangun atau merenovasi sebuah masjid membutuhkan dana Rp 1 miliar. Dari cacah angka estimasi Rp 12 triliun saldo dana masjid, 10 persen saja digunakan untuk pembangunan atau renovasi masjid, maka akan ada 1.200 masjid yang bisa terbantu.

Lalu, bagaimana solusi mengatasi ketimpangan ini? Fungsi Dewan Masjid Indonesia (DMI) sebenarnya bisa diperkuat untuk menjadi perantara masjid “surplus” dan masjid “defisit” dana masjid. Sayangnya tidak banyak DMI di daerah yang aktif menjalin jejaring antar masjid.

Jika jejaring antar masjid bisa terjalin, seharusnya masjid-masjid yang sadar memiliki kelebihan dana bisa memberi subsidi kepada masjid yang membutuhkan. Kuncinya ada pada komunikasi antar masjid. DMI juga bisa mengembangkan platform digital yang berfungsi sebagai penghubung antara masjid yang memiliki surplus dana dan masjid yang membutuhkan. Dengan transparansi dan aksesibilitas data yang ditawarkan oleh platform ini, akan lebih mudah untuk memfasilitasi bantuan dana secara efektif.

Jika ta’awun antar masjid sulit terwujud, jejaring lembaga filantropi Islam bisa menjadi opsi selanjutnya. Dana filantropi yang dihimpun lembaga filantropi jumlahnya juga tidak kalah banyak. Laporan BAZNAS misalnya, pada tahun 2021 dana Zakat, Infak, Sedekah (ZIS) yang berhasil terhimpun mencapai Rp 14 triliun dengan rincian dana non-zakat mencapai Rp 5,7 triliun. Lembaga filantropi Islam, dalam hal ini Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) dapat melakukan pendataan masjid yang membutuhkan bantuan, selain menunggu permintaan bantuan langsung dari masjid itu sendiri.

Selain itu, kunci lainnya ada pada manajemen penggalangan dana masjid itu sendiri jika memang komunikasi jejaring di atas sulit terwujud. Pengurus masjid perlu memiliki wawasan yang lebih luas lagi untuk bisa memperolah sumber pendanaan dari cara yang lebih variatif dan kreatif. Mereka seharusnya tidak lagi hanya mengandalkan proposal pembangunan atau kegiatan masjid lainnya kepada orang yang dipandang mampu, pemerintah, ataupun dana Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR).

Kampanye penggalangan dana ini yang bisa menjadi bahan masukan bagi para pengurus masjid. Jika tidak bisa memberi bantuan dana langsung, masjid-masjid besar dan makmur, lembaga filantropi Islam, hingga akademisi bisa berkontribusi dalam memberikan edukasi bagaimana dapat mengakses pendanaan alternatif. Apalagi di era digital yang semakin borderless ini, ketimpangan perolehan dana masjid semakin mungkin untuk tereduksi. Pemanfaatan teknologi digital untuk crowdfunding atau penggalangan dana online juga dapat menjadi alternatif yang menjanjikan. Dengan penggunaan media sosial dan platform donasi, masjid dapat menjangkau lebih banyak donatur potensial yang mungkin tidak tinggal di daerah sekitar masjid tetapi tertarik untuk berkontribusi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement