REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Modal bangsa Indonesia di bidang sumber daya manusia (SDM) unggul dan sumber daya alam melimpah dapat menjadi pijakan memperkuat narasi optimisme di tengah masyarakat. Sementara itu, hal lain yang juga dapat dijadikan pijakan adalah kinerja pemerintah dalam mengembangkan pondasi pembangunan.
“Modalitas inilah yang perlu dijadikan pijakan untuk memperkuat narasi optimisme di antara kehidupan masyarakat,” kata pelopor Gerakan Indonesia Optimis (GIO) Ngasiman Djoyonegoro lewat keterangannya, Ahad (27/10/2024).
Saat ini, GIO telah memasuki usianya yang keenam. Pria yang kerap disapa Simon itu mengatakan, GIO telah menciptakan momentum untuk membalikkan narasi pesimisme yang muncul menjelang pilpres pada 2019 yang lalu.
“Saat itu, narasi Indonesia akan bubar pada 2030. Kami merasa narasi itu akan memperburuk psikologi masyarakat. Karenanya, perlu ada wacana penyeimbang. Lalu kita kembangkan GIO,” kata dia.
Upaya membangun optimisme itu, kata Simon, salah satunya adalah dengan menginventarisasi modalitas yang didokumentasikan dalam buku 'Indonesia Optimis'. Simon pun bersyukur saat ini situasi telah banyak berubah.
"Presiden Prabowo dengan Kabinet Merah Putih, saya kira memberikan perspektif optimisme dalam menjalankan pemerintahan selama lima tahun ke depan. Merah putih menggambarkan karakter nasionalisme, patriotik dan pengabdian kepada bangsa dan negara,” kata Simon.
Kegiatan HUT GIO ke-6 bertepatan dengan hari terakhir Retreat Magelang yang diikuti oleh seluruh jajaran kabinet baru Prabowo. Kegiatan itu dinilai sejumlah pihak sangat penting sebagai upaya untuk menyatukan langkah, hati dan pikiran jajaran kabinet merah putih sebelum bekerja.
Simon mengapresiasi kegiatan Retreat Magelang oleh presiden baru tersebut. Sebab, kata dia, optimisme dapat diraih dengan semangat kebersamaan, dedikasi, dan kesetiaan mutlak kepada bangsa dan negara, sebagaimana tujuan yang hendak dicapai dalam kegiatan tersebut.
“Karakter merah putih adalah karakter yang tanggap (responsif, cerdas), tanggon (tangguh), trengginas (lincah), setia kepada bangsa dan negara, tak gentar terhadap tekanan apapun, dan kuat sehingga harus mulai di-satu-rasakan di antara para menteri yang akan mengurus negeri ini,” kata Simon.
Dia menyampaikan, pihaknya berupaya untuk menyatukan rasa sehingga ada keterhubungan antara rasa yang dibangun dalam momentum Retreat Magelang dengan rasa yang dibangun oleh rakyat. Jika pemimpin dan rakyat telah berada dalam satu rasa, kata dia, maka kesuksesan Indonesia Emas 2045 bukan hal yang sulit untuk diraih.
Sementara itu, Okki Tirto, akademisi yang juga pemerhati kebudayaan pada kesempatan HUT GIO ke-6 ini menyampaikan tentang pentingnya optimisme dalam konteks membangun budaya bangsa.
“Budaya Indonesia sebagai bangsa sulit untuk dirumuskan karena banyaknya suku bangsa. Tapi itu dapat dicirikan dalam tiga hal: peci hitam, gotong royong dan bahasa Indonesia,” kata Okki.
Lebih lanjut Okki menjelaskan, pemimpin dan rakyat haruslah dapat membedakan antara budaya bangsa dengan negara. “Budaya bangsa kita perlu dirumuskan kembali sebagai roots and routes (akar dan rute). Berdasarkan kesepakatan bersama para pemimpin bangsa,” kata Okki.