Senin 28 Oct 2024 06:28 WIB

Gaza Dikepung Kedinginan, Kelaparan, dan Kebiadaban Israel

Musim dingin yang bakal tiba menambah nelangsa warga Gaza.

Ribuan pengungsi berdesakan di depan toko roti di tengah kelaparan dan mahalnya harga-harga akibat blokade Israel di Khan Yunis, Gaza selatan. Jalur, 24 Oktober 2024.
Foto: EPA-EFE/HAITHAM IMAD
Ribuan pengungsi berdesakan di depan toko roti di tengah kelaparan dan mahalnya harga-harga akibat blokade Israel di Khan Yunis, Gaza selatan. Jalur, 24 Oktober 2024.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Saat musim dingin mendekat, ratusan ribu pengungsi di Jalur Gaza bersiap menghadapi musim kesulitan lainnya. Situasi kemanusiaan terus memburuk setiap hari karena blokade yang terus berlanjut dan kekerasan yang tiada henti, sehingga menyebabkan kelompok masyarakat yang paling rentan berada dalam kesulitan.

Kantor berita WAFA melansir, banyak keluarga pengungsi terpaksa meninggalkan rumah mereka yang hancur akibat serangan udara yang terus menerus, yang mengakibatkan kehancuran besar dan banyak korban jiwa. Mereka mencari perlindungan di tenda-tenda sementara, namun tempat penampungan sementara tersebut kini sudah usang, rentan dan berisiko runtuh akibat curah hujan yang akan datang.

Baca Juga

Hingga saat ini, Israel masih terus melakukan agresi brutal di Jalur gaza. Sejak 20 hari lalu, serangan-serangan itu dipusatkan di utara Gaza dan telah menewaskan hampir 1000 orang, termasuk anak-anak. 

Saat ini, lebih dari 100.000 penduduk di Jabalia, Beit Hanoun dan Beit Lahia menghadapi blokade tanpa henti dan penembakan terus-menerus oleh pasukan Israel, dengan pasukan yang menargetkan setiap orang yang berusaha memberikan bantuan atau menjangkau mereka yang membutuhkan.

Israel memaksa sekitar 400 ribu orang yang masih bertahan di utara Gaza untuk mengungsi dengan melakukan pengeboman terus menerus dan blokade bantuan kemanusiaan. Israel juga menghancurkan rumah sakit-rumah sakit yang tersisa di wilayah itu. Dampak gabungan dari aksi-aksi itu dinilai merupakan upaya pembersihan etnis untuk mengosongkan utara Gaza.

photo
Warga Palestina memeriksa sisa-sisa bangunan yang hancur pasca serangan udara Israel di Khan Younis, Jalur Gaza selatan, 25 Oktober 2024. - (EPA-EFE/HAITHAM IMAD)
 

Di antara mereka yang mengalami kesulitan di kamp pengungsian adalah bayi, anak-anak, wanita hamil, korban luka, orang sakit, dan orang lanjut usia. Orang-orang ini menghadapi kenyataan hidup yang suram di tenda-tenda darurat yang tersebar di seluruh Jalur Gaza, dengan cemas menghadapi musim dingin dan ketakutan yang akan datang. Situasi mereka menjadi lebih buruk karena tidak adanya kebutuhan paling dasar untuk bertahan hidup, sebuah kenyataan yang diperburuk dengan sikap diam komunitas internasional yang meresahkan.

Mohammad Al-Jarousha, yang melarikan diri bersama keluarganya dari Gaza utara ke selatan, memberikan gambaran sekilas perjuangan sehari-hari yang mereka hadapi saat tinggal di tenda kecil. “Sejak rumah kami hancur, kami belum menemukan tempat untuk dijadikan rumah. Kami mengungsi ke Rafah di Gaza selatan, berharap tenda ini bisa menjadi tempat berlindung bagi kami. Namun, sudah usang karena penggunaan terus-menerus. Tetap saja, tidak ada alternatif lain.”

“Tenda tidak dapat bertahan lebih lama lagi; setiap malam, angin mengancam tempat perlindungan kami yang rapuh, dan blokade menghentikan bantuan apa pun yang dapat meringankan penderitaan kami.” Ia mengimbau para pemimpin dunia untuk melakukan intervensi dan mengakhiri kesulitan mereka, atau setidaknya memastikan masuknya bantuan kemanusiaan yang penting.

photo
Warga Palestina berdiri di samping jenazah anak-anak yang syahid akibat serangan udara Israel, di dalam Rumah Sakit Eropa di Khan Younis, Jalur Gaza selatan, 25 Oktober 2024. - (EPA-EFE/HAITHAM IMAD)

Dalam situasi serupa, Ameen Al-Rai, kepala keluarga pengungsi lainnya yang menghadapi kesulitan yang sama. “Musim dingin lalu sangat brutal; hujan deras membanjiri tenda kami, dan kami mengalami hari-hari tersulit dalam hidup kami. Hawa dinginnya sangat parah, membuat kami menggigil. Kami tidak punya listrik, tidak ada pemanas, dan tidak ada harapan.”

Samar Mahmoud, seorang dokter relawan yang bekerja di kamp pengungsi, menggarisbawahi parahnya krisis kesehatan di dalam tenda. “Air hujan telah membanjiri tenda, membuatnya tidak dapat dihuni, dan sebagian besar warga kehilangan harta benda mereka. Orang-orang mengalami kondisi yang sangat keras yang membahayakan nyawa dan kesehatan mereka. Bayi dan orang lanjut usia sangat rentan dalam kondisi yang penuh tantangan ini.”

Mahmoud memperingatkan bahwa tidak adanya layanan kesehatan dan kekurangan obat-obatan dapat mengakibatkan kematian pada anak-anak dan orang lanjut usia, terutama karena kondisi gizi yang buruk. Dia menggambarkan situasi ini sebagai bencana kemanusiaan yang memerlukan intervensi segera.

photo
Ribuan pengungsi berkerumun di depan toko roti di tengah kelaparan dan mahalnya harga-harga akibat blokade Israel di Khan Yunis, Gaza selatan. Jalur, 24 Oktober 2024. - (EPA-EFE/HAITHAM IMAD)

Jalur Gaza telah menjadi sasaran blokade ketat oleh pendudukan Israel sejak tahun 2007, yang mengakibatkan hancurnya infrastruktur dan meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan. Selama bertahun-tahun, berbagai operasi militer dan serangan gencar telah dilakukan terhadap wilayah tersebut, yang terakhir terjadi pada bulan Oktober 2023, yang melibatkan serangan udara besar-besaran yang menyebabkan kehancuran yang luas. Ribuan keluarga terpaksa mengungsi, dan seluruh lingkungan menjadi reruntuhan, sehingga tidak dapat dihuni.

Keterkejutan Sekjen PBB...

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement