Senin 28 Oct 2024 20:02 WIB

Dirut PT Sritex: PHK Haram dalam Pelaksanaan Usaha Kami

Pihak Sritex akan meyakinkan karyawannya bahwa perusahaan masih dalam kondisi normal.

Buruh berjalan keluar dari pabrik PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, Kamis (24/10/2024). Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang menyatakan perusahaan tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex dinyatakan pailit, hal tersebut tercantum dalam putusan dengan nomor perkara 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Semarang.
Foto: ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Buruh berjalan keluar dari pabrik PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah, Kamis (24/10/2024). Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang menyatakan perusahaan tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex dinyatakan pailit, hal tersebut tercantum dalam putusan dengan nomor perkara 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Semarang.

REPUBLIKA.CO.ID, SUKAHARJO -- Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman (Sritex) Tbk Iwan Kurniawan Lukminto menyebutkan pemutusan hubungan kerja (PHK) haram dalam usaha Sritex. Diketahui, Pengadilan Niaga Semarang belum lama ini memutuskan Sritex pailit.

"PHK itu adalah kata-kata yang sangat tabu, haram di dalam pelaksanaan usaha kami. Maka dari itu kami ingin meyakinkan juga kepada seluruh karyawan/karyawati bahwa usaha Sritex saat ini tetap normal," kata Iwan Kurniawan Lukminto di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Senin (28/10/2024).

Baca Juga

Iwan mengatakan, mengenai keputusan pailit tersebut saat ini pihaknya tengah berupaya menangani masalah ini dengan serius. "Dalam arti kami mengupayakan sekuat tenaga untuk naik banding di Mahkamah Agung supaya Mahkamah Agung memberikan satu keputusan untuk mencabut atau membatalkan keputusan Pengadilan Negeri Semarang tanggal 21 Oktober lalu," katanya.

Selain itu, pihaknya juga masih menjalankan konsolidasi secara internal dan eksternal sambil menanti putusan Mahkamah Agung. "Di dalam proses menunggu keputusan Mahkamah Agung ini, kami akan dihadapkan oleh kendala-kendala teknis yang akan terus kami antisipasi untuk menormalisasi kegiatan usaha Sritex," katanya.

Sementara itu, ia menjelaskan keputusan pailit dimulai pada 2022 saat Sritex memasuki fase PKPU atau disebut juga dengan penundaan pembayaran utang.

"Di situ kami melalui proses yang cukup panjang, utang-utang yang perusahaan kami punya ini mempunyai satu kesepakatan yaitu perjanjian homologasi atau perjanjian pembayaran utang. Istilahnya kalau yang utang misalnya 5 tahun, lalu diperpanjang menjadi 7 tahun, yang utangnya 6 tahun diperpanjang menjadi 9 tahun. Jadi bayarnya diberikan kesempatan waktu," katanya.

Iwan mengatakan awalnya perjanjian perdamaian tersebut disahkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang. "Semua juga sudah sesuai dengan aturan, sesuai dengan kewajiban kami untuk membayar sesuai dengan perjanjian ini. Namun salah satu dari pihak yang kurang tanggung jawab, mereka melayangkan tuntutan kepada kami untuk membatalkan perjanjian homologasi ini, perjanjian perdamaian ini," katanya.

Ia mengaku kurang mengetahui alasan PN Niaga Semarang pada akhirnya mengabulkan tuntutan tersebut, sehingga surat perdamaian homologasi yang ditandatangani tahun 2022 itu batal. "Sehingga perusahaan kami dibilang perusahaan yang pailit," katanya.

Menurut Iwan, sejauh ini kewajiban perusahaan terhadap karyawan tidak mengalami keterlambatan. Meski demikian, ia tidak memungkiri adanya efisiensi yang dilakukan oleh perusahaan.

"Namun putusan efisiensi semuanya berdasarkan keputusan bisnis. Di mana semua itu diputuskan karena kami memang tidak bisa atau market masih belum ada pembelinya. Makanya dilaksanakan efisiensi, bukan karena kebangkrutan kami," katanya.

 

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement