Senin 28 Oct 2024 19:43 WIB

Hilangnya Aturan dan Kaidah Bahasa Indonesia di Media Sosial (Memperingati Hari Sumpah Pemuda)

Nasib Bahasa Indonesia di ranah media sosial berjalan dengan berbagai dinamika yang menimbulkan perdebatan, apakah memperkaya bahasa atau justru merusak esensinya?

Rep: MASPRIL ARIES/ Red: Partner
.
Foto: network /MASPRIL ARIES
.

Naskah Sumpah Pemuda. (FOTO: Republika)
Naskah Sumpah Pemuda. (FOTO: Republika)

KINGDOMSRIWIJAYA – Tanggal 28 Oktober setiap tahun diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda, pagi-pagi di kantor pemerintah dan sekolah-sekolah menyelenggarakan upacara bendera. Di laman media sosial berseliweran ucapan “Selamat Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2024” juga aneka rupa twibbon (padanannya dalam Bahasa Indonesia “bingkai foto digital”) Hari Sumpah Pemuda.

Walau bulan Oktober juga disebut “Bulan Bahasa” maka Bahasa Indonesia adalah salah satu isi Sumpah Pemuda. “Kami Putra dan Putri Indonesia Menjunjung Bahasa Persatuan Bahasa Indonesia”. Hari di mana kalian letakan Bahasa Indonesia, apakah masih kalian junjung dalam kehidupan, menempatkannya di tempat terhormat?

Bahasa Indonesia adalah salah satu identitas bangsa yang mempererat keragaman budaya dan suku yang ada di seluruh Nusantara. Dalam UU No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan pada Pasal 1 menyebutkan, Bahasa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi nasional yang digunakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebagai bahasa resmi nasional, bagaimana dengan Bahasa Indonesia di ranah media sosial (medsos)? Nasib Bahasa Indonesia di ranah media sosial berjalan dengan berbagai dinamika yang menimbulkan perdebatan, apakah memperkaya bahasa atau justru merusak esensinya?

Bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam media sosial, tanpa menggunakan bahasa, komunikasi tidak akan berjalan dengan baik. Media sosial dengan beragam platform-nya telah menjelma menjadi wadah di mana para penggunanya bisa menumpahkan ekspresi dan keinginannya, khususnya pada kalangan remaja.


Platform media sosial. (FOTO: Pexels.com)
Platform media sosial. (FOTO: Pexels.com)

Sebuah penelitian berjudul “Pengaruh Bahasa Di Media Sosial Bagi Kalangan Remaja” (2018) oleh Ira Maullin Octorina, Dewi Karwinati, dan Eli Syarifah Aeni menyatakan, “Bahasa yang digunakan dalam media sosial pada saat ini sebagian sudah tidak menghiraukan tentang kaidah kebahasaan yang baik dan benar, maka dari itu pembelajaran Bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan kaidah kebahasaan harus dipelajari sejak dini”.

Anda atau siapa saja boleh saja tidak setuju dengan hasil penelitian tersebut. Jelas terlihat, media sosial telah mengubah cara masyarakat berkomunikasi. Dalam platform medsos seperti Facebook, Twitter (X) Instagram, Tik Tok, dan aplikasi pesan instan seperti WhatsApp, Bahasa Indonesia telah diutak-atik menjadi beragam bentuk, gaya, dan penggunaannya.

Bahasa Gaul Medsos

Bahasa Indonesia memiliki tata bahasa dan aturan penulisan yang jelas dan standar. Semua itu diajarkan di bangku pendidikan sejak Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah atas dan perguruan tinggi atau universitas. Sampai di ranah media sosial, mereka yang waktu sekolah belajar Bahasa Indonesia sering kali mengabaikan aturan dan kaidah Bahasa Indonesia.

Di media sosial penggunaan bahasa yang tidak baku muncul dalam berbagai bentuk, misalnya singkatan berlebihan, kata-kata gaul, hingga penulisan yang dipermudah tanpa mengikuti tata bahasa. Contohnya: "Bsk kita ngumpul di cafe ya” atau “Mau kemn? Gw ikut dong”.

Kata-kata seperti bsk (besok), ngumpul (berkumpul), cafe (kafe), kemn (kemana), dan gw (saya) digunakan dengan bebas tanpa mempertimbangkan kaidah bahasa yang benar. Dari contoh tersebut, penelitian Ira Maullin Octorina dan kawan-kawan, enam tahun lalu, benar adanya, “Bahasa yang digunakan dalam media sosial pada saat ini sebagian sudah tidak menghiraukan tentang kaidah kebahasaan yang baik dan benar”. Ini menunjukkan betapa kurangnya perhatian pengguna media sosial terhadap kaidah tata bahasa dan penulisan yang benar dari Bahasa Indonesia.


Ilustrasi Buku pelajaran Bahasa Indonesia. (FOTO: Republika/ Prayogi)
Ilustrasi Buku pelajaran Bahasa Indonesia. (FOTO: Republika/ Prayogi)

Bahasa Indonesia di ranah media sosial telah melahirkan bahasa gaul dan slang. Contohnya, adalah “baper” (bawa perasaan), “gabut” (gaji buta), “sabi” (bisa) dan “santuy” (santai). Penggunaan istilah ini telah menggantikan frasa yang formal menjadi informal, cara komunikasi baku menjadi santai. Bahasa slang sendiri sebelum ada medsos sudah ada dan digunakan ramaja era 80-an.

Kemudian di media sosial ditemukan adanya pencampuran bahasa (Code-Switching) dan (Code-Mixing), mencampurkan Bahasa Indonesia dengan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Contohnya, frasa seperti “I'm so happy" atau “It's a good day" yang dicampur dengan Bahasa Indonesia.

Di satu sisi, pencampuran ini dapat memperkaya kosa kata tetapi di sisi lain dapat membingungkan pembaca yang tidak terbiasa dengan istilah asing. Sebagai pembelaannya ada yang mengatakan, “Media sosial teknologi digital mendorong pengguna untuk beradaptasi dengan gaya komunikasi yang lebih global”.

Juga ada yang suka mempersingkat kata atau akronim dan singkatan dari bahasa asing, seperti “OTW” (on the way), “TFL” (thanks for like), dan “LOL” (laugh out loud). Penggunaan singkatan yang berlebihan dapat menyebabkan kesalahpahaman dalam komunikasi.

Di media sosial juga ditemukan adanya penggunaan emoji dan stiker yang menjadi bagian integral dari komunikasi. Tanda atau lambang digunakan untuk mengekspresikan emosi atau situasi tanpa kata-kata, mempercepat pengiriman pesan tetapi juga dapat mengurangi kedalaman makna dari suatu pesan. Sebuah pesan bisa jadi kehilangan nuansa jika hanya disampaikan dengan emoji tanpa penjelasan tambahan.

Juga ada penggunaan tagar (Hashtags) untuk mengelompokkan konten di media sosial, membuatnya lebih mudah ditemukan oleh pengguna lain. Contoh tagar seperti #ThrowbackThursday atau #OOTD (Outfit of the Day) menunjukkan bagaimana pengguna media sosial menciptakan istilah baru untuk memperkuat identitas mereka dalam komunitas online. Namun, penggunaan hashtag yang berlebihan dapat mengganggu alur pembicaraan dan membuatnya sulit dipahami.


Salah satu platform media sosial. (FOTO: Pixabay.com)
Salah satu platform media sosial. (FOTO: Pixabay.com)

Satu lagi, media sosial juga mensosialisasikan fenomena bahasa alay. Dalam bahasa alay, kata-kata dimodifikasi dengan cara yang tidak lazim, misalnya mengganti huruf dengan angka atau simbol, contohnya “aku” menjadi "4kU”, ”mkcih, ya” (terima kasih, ya), ”otw ke rmh” (on the way ke rumah), dan ”gapapa” (tidak apa-apa). Meskipun terlihat kreatif, penggunaan bahasa alay dapat merusak pemahaman terhadap bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa alay dianggap bahasa gaul, kalau nggak pake bahasa alay bisa dianggap bukan anak gaul.

Pelanggaran Berbahasa

Dalam penggunaan Bahasa Indonesia di media sosial ditemukan ada kesalahan berbahasa dalam pemakaian bentuk-bentuk tuturan berbagai unit kebahasaan yang meliputi kata, kalimat, paragraf, yang menyimpang dari sistem kaidah bahasa Indonesia baku, serta pemakaian ejaan dan tanda baca yang menyimpang dari sistem ejaan dan tanda baca yang telah ditetapkan dalam buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia.

Menurut S. Piet Corder dalam bukunya Introducing Applied Linguistik, kesalahan berbahasa adalah pelanggaran terhadap kode bahasa. Pelanggaran ini disebabkan kurang sempurnanya penguasaan dan pengetahuan terhadap kode.

Sri Kurnia Hastuti Sebayang dan Anita Soleha Sofyan dalam “Analisis Kesalahan Berbahasa pada Sosial Media Instagram dalam Postingan, Komentar, dan Cerita Singkat “ (2019), kesalahan berbahasa biasanya ditentukan berdasarkan ukuran keberterimaan. Ukuran berbahasa yang baik ini adalah ukuran intrabahasa atau intralingual.

Ukuran kesalahan dan ketidaksalahan intrabahasa adalah ukuran kebahasaan. Ukuran kebahasaan meliputi: 1. Fonologi (tata susun) Ilmu tentang bunyi-bunyi (fonem) bahasa dan distribusi. Fonologi diartikan sebagai kajian bahasa yang mempelajari tentang bunyi-bunyi bahasa yang diproduksi oleh alat ucap manusia.

2. Morfologi (tata kata) Ilmu bentuk kata adalah cabang linguistik yang mengidentifikasi satuan-satuan dasar bahasa sebagai satuan gramatikal. Morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata.

3. Sintaksis (tata kalimat) cabang tata bahasa mengenai studi penghimpunan kata-kata dalam kalimat-kalimat dan alat dengan mana hubungan seperti itu terlihat. 4. Semantik (tata makna) studi tentang makna yang digunakan untuk memahami ekspresi manusia melalui bahasa.


Ilustrasi Kamus Besar Bahasa Indonesia. (FOTO: Republika/ Prayogi)
Ilustrasi Kamus Besar Bahasa Indonesia. (FOTO: Republika/ Prayogi)

Pakar linguistik Noam Comsky membedakan antara kesalahan berbahasa (error) dengan kekeliruan berbahasa (mistake), keduanya memang sama-sama pemakaian bentuk tuturan yang menyimpang, akan tetapi kesalahan berbahasa terjadi secara sistematis karena belum dikuasainya kaidah bahasa yang benar. Sedangkan kekeliruan berbahasa bukan terjadi secara sistematis, melainkan dikarenakan gagalnya merealisasikan kaidah bahasa yang sebenarnya sudah dikuasai.

Media sosial telah membawa perubahan besar dalam cara orang berkomunikasi menggunakan Bahasa Indonesia. Ada aspek positif seperti kreativitas dalam berbahasa, dampak negatifnya juga ada karena berkontribusi merusaknya kaidah-kaidah kebahasaan yang baku.

Dari penelitian Sri Kurnia Hastuti Sebayang dan Anita Soleha Sofyan menyebutkan, bahwa bahasa yang kita gunakan di media sosial seiring dengan berjalannya waktu dapat menurunkan kaidah-kaidah yang terdapat di dalamnya. Ini karena, media asosial merupakan tempat berkumpulnya semua ragam bahasa, baik yang masih dalam bahasa Indonesia maupun yang dari luar, yang mengakibatkan pengguna tidak lagi memperhatikan bagaimana menulis bahasa Indonesia yang benar.

“Sebenarnya sah-sah saja bagi mereka (terutama remaja) yang menggunakan bahasa alay, karena hal tersebut merupakan bentuk kreatifitas yang mereka buat. Namun sebaiknya penggunaan bahasa alay dapat digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi atau tidak digunakan pada situasi-situasi yang formal”, tulis Sri Kurnia Hastuti Sebayang dan Anita Soleha Sofyan

Pesannya, “Jangan sampai menghilangkan budaya berbahasa Indonesia kita. Karena biar bagaimanapun Bahasa Indonesia tetap menjadi bahasa kebanggaan kita dan wajib untuk dijaga serta dilestarikan”.

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk menyadari penggunaan bahasa yang baik dan benar agar tidak kehilangan identitas linguistik mereka di era digital ini. Dengan memahami fenomena ini, kita bisa lebih bijak dalam menggunakan media sosial tanpa mengorbankan kualitas Bahasa Indonesia yang kita cintai.

Selamat Hari Sumpah Pemuda. Di media sosial mari menjunjung bahasa persatuan Bahasa Indonesia. (maspril aries)

sumber : https://kingdomsriwijaya.id/posts/484741/hilangnya-aturan-dan-kaidah-bahasa-indonesia-di-media-sosial-memperingati-hari-sumpah-pemuda-
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement