Kasus tengkes (stunting) masih tinggi di berbagai daerah, maka Presiden Prabowo mencanangkan program makan siang bergizi untuk anak-anak sekolah. Kasus tengkes nasional masih mencapai 21,5 persen pada 2023, turun hanya 0,1 persen dari kasus 2022.
Kasus tengkes muncul karena banyak anak yang kurang gizi. Rupanya, pemerintah kolonial Belanda dulu juga pernah pusing dengan kasus kurang gizi.
Tercatat ada kasus anak usia 10 tahun di Batavia meninggal gara-gara kelaparan dan kurang gizi. Ini menjadi tamparan bagi pemerintah kolonial, sebab Batavia merupakan ibu kota Hindia Belanda.
“Jika kita memikirkan banyak laporan lain yang menyebutkan kelaparan dan kekurangan gizi, meskipun laporan resminya menggunakan bahasa yang berbeda, berita yang campur aduk dari Batavia ini memiliki makna yang mengancam kita secara diam-diam,” tulis koran Het Volk yang dikutip koran De Avondpost pada Maret 1937.
Maka, upah kuli pun sempat dibahas di Volksraad. Eks direktur pamong praja berteori, sebuah keluarga pribumi bisa hidup dengan 2,5 sen alias segobang per hari.
Hal itu tentu dianggap tidak masuk akal. Sebab survei di Surabaya menunjukkan bahwa pribumi bisa hidup tanpa harus kekurangan gizi memerlukan 9 sen untuk keluarga beranggotakan enam orang.
Enam orang itu terdiri dari suami-istri, dua anak, dan kakek-nenek. Mereka diberi makanan bergizi sebagai bagian dari studi kasus.
Makanan yang mereka konsumsi berupa nasi, ikan, daging, sayur yang mengandung sembilan bahan antara lain kemiri, kencur, kunir, cabai, garam. Dengan keperluan 173 ribu kalori per bulan, enam orang sekeluarga itu terhindar dari malnutrisi, dan itu memerlukan 9 sen per hari.
Untuk protein nabati, disarankan mengonsumsi tempe dari kedele, bukan tempe dari bungkil kelapa. Sebab, banyak pribumi yang memilih tempe dari bungkil kelapa karena murah, tetapi kandungan gizinya tidak ada.
Bekatul disebut juga memiliki gizi yang dimasak dicampur dengan nasi atau dijadikan bubur kebatul. “Tidak sulit memindahkan bekatul ke dalam perut dalam bentuk bubur,” tulis De Sumatra Post, Juni 1925.
Kasus anak usia 10 tahun di Batavia yang meninggal karena kelaparan dan kurang gizi pada 1937 itu menarik perhatian. Sebab, kasus serupa tidak muncul di desa-desa di wilayah Jawa Barat.
Entah tahun 1937 itu ada program makan siang bergizi atau tidak, seperti yang dicanangkan Presiden Prabowo akibat angka tengkes masih tinggi. Tapi ternyata kasus kurang gizi juga menimpa orang-orang Belanda di Belanda, tapi belum sampai meninggal dunia.
“Ada pemuda berusia 23 tahun di Harleem diangkut ke pos kesehatan akibat kurang gizi,” tulis De Avondpost.
Priyantono Oemar