Rabu 30 Oct 2024 21:05 WIB

Ahli: UU Cagar Budaya Perlu Direvisi

Revisi UU Cagar Budaya dianggap perlu agar dapat diterapkan dalam kondisi kekinian.

Petugas membersihkan dedaunan didekat situs sejarah Mausoleum OG Khouw yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya tahun 2024 di Jakarta, Rabu (16/10/2024). Pemprov DKI Jakarta menetapkan 18 cagar budaya baru selama periode 2022-2024 terdiri dari 12 bangunan dan enam struktur. Dengan penambahan tersebut, tercatat total jumlah keseluruhan cagar budaya di Jakarta saat ini sebanyak 305 cagar budaya, baik yang berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, maupun kawasan cagar budaya.
Foto: Republika/Prayogi
Petugas membersihkan dedaunan didekat situs sejarah Mausoleum OG Khouw yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya tahun 2024 di Jakarta, Rabu (16/10/2024). Pemprov DKI Jakarta menetapkan 18 cagar budaya baru selama periode 2022-2024 terdiri dari 12 bangunan dan enam struktur. Dengan penambahan tersebut, tercatat total jumlah keseluruhan cagar budaya di Jakarta saat ini sebanyak 305 cagar budaya, baik yang berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, maupun kawasan cagar budaya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya menuai sorotan. Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Provinsi Jakarta, Gatot Ghautama, berpendapat beleid tersebut perlu direvisi. Sebab, lanjut dia, ada pasal yang tidak sukar diterapkan dengan kondisi masyarakat saat ini.

"UU ini kurang 'applicable' untuk daerah urban. Termasuk masalah kepemilikan dan penguasaan. Kalau di daerah kota seperti Menteng, agak berat mau menetapkan cagar budaya," ujar Gatot di Jakarta, Rabu (30/10/2024).

Baca Juga

Ia mengatakan, UU Cagar Budaya saat ini tidak mengatur ihwal boleh atau tidaknya pemilik bangunan menolak bangunannya ditetapkan sebagai cagar budaya. Ini menjadi sebuah kesukaran di lapangan.

"Walau sudah ada mekanisme sebelum ditetapkan itu, penguasaannya atau pemiliknya diundang untuk dijelaskan (mengenai) haknya dan kewajibannya. Apakah mereka boleh menolak? Ini belum jelas," kata dia menjelaskan.

Alasan lainnya, sambung Gatot, ada pasal-pasal yang multitafsir dalam UU Cagar Budaya. Misalnya, belum semua jenis warisan budaya kebendaan dimasukkan ke dalam beleid tersebut. Salah satunya, lukisan batu (rock art) yang berada di Raja Ampat, Papua Barat.

"Yang paling terasa itu, penafsiran terhadap pasal-pasal. Ini berbeda di beberapa orang. Tidak bisa memaksa bahwa yang benar ini, karena penafsiran karena tidak diuraikan dan di penjelasan (UU Cagar Budaya) bunyinya cukup jelas," katanya.

Kemudian, ada pula masukan dari daerah-daerah. Karena itu, Gatot menilai, UU Cagar Budaya sudah waktunya direvisi.

"Ada beberapa atau belum mencakup semua jenis warisan budaya kebendaan," katanya.

Di sisi lain, Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) beberapa waktu lalu pernah berdiskusi bersama anggota Komisi X DPR-RI. IAAI berpandangan, peninjauan dan revisi terhadap Undang-Undang Cagar Budaya perlu dilakukan.

Senada dengan Gatot, IAAI berpendapat perlunya dilakukan revisi UU tersebut. Alasannya, antara lain, adanya pasal-pasal yang tidak aplikatif atau multitafsir. Bahkan, aturan yang ada dianggap sudah tak sesuai lagi dengan kondisi masyarakat saat ini.

IAAI berharap, revisi undang-undang nantinya dapat melahirkan peraturan baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat dalam pelestarian cagar budaya.  

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement