Kamis 31 Oct 2024 15:14 WIB

Teladan Mbah Hamid Pasuruan: Berdakwah Itu Merangkul, bukan Memukul

KH Abdul Hamid memadukan dakwah dengan kearifan lokal.

KH Abdul Hamid
Foto: tangkapan layar e-paper Republika
KH Abdul Hamid

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Buku 50 Pendakwah Pengubah Sejarah menjelaskan bahwa pada masa mudanya, KH Abdul Hamid memiliki sikap tempramental. Karena itu, saat masih kecil dan remaja, sosok yang akrab disapa Mbah Hamid itu cenderung keras menghadapi segala bentuk kemungkaran, terlebih yang dilakukan orang-orang non-Muslim.

Misalnya, tokoh dari Pasuruan, Jawa Timur, ini pada masa mudanya pernah marah dan langsung bertindak ketika melihat orang Tionghoa yang non-Muslim sedang mengadakan acara ritual atau perayaan keagamannya. Waktu itu, ia menggunakan cara-cara konfrontatif untuk mengubah segala bentuk kemungkaran.

Baca Juga

Namun, kemudian sifatnya berubah menjadi lebih sabar dan dialogis. Pada masa dewasanya, Mbah Hamid lebih lembut dalam berdakwah dan lebih mengutamakan harmoni. Jika pun akan melakukan perubahan, berusaha agar tidak menimbulkan kegaduhan.

Saat menjadi pengasuh Pesantren Salafiyah Pasuruan, Mbah Hamid juga tak segera melakukan perubahan yang radikal. Baginya, kegiatan mengajar di pesantren adalah dakwah dan bukan sekadar transfer ilmu dari guru ke murid. Ia memandang mengajar sebagai kegiatan untuk mengubah anak santri yang sebelumnya menyalahi syariat menjadi sesuai syariat.

Karena itu, pada 1960, Mbah Hamid juga sangat aktif menggelar pengajian di desa-desa, terutama yang masyarakatnya kurang tersirami ajaran Islam. Tidak hanya berdakwah, sang kiai juga turut memelopori perbaikan masjid, mushala, dan madrasah yang sudah ada.

Dakwah penuh kelembutan

Dalam memberikan nasihat, Mbah Hamid akan menyampaikannya secara halus, sehingga pihak-pihak yang diingatkan tidak tertekan. Dengan cara dakwahnya yang lembut, Kiai Hamid menjadikan Islam se bagai rahmat bagi alam semesta.

Dalam forum-forum pengajian, Mbah Hamid suka menyampaikan dengan menggunakan perumpamaan. Misalnya, saat menjelaskan isi kitab Al-Hikam yang berbunyi, "Pendamlah seluruh wujudmu dalam bumi khumul (keadaan tak dikenal orang)."

Mbah Hamid kemudian mengibaratkan, jika orang berbudi daya jagung dan benihnya tak dia tanam ke dalam tanah, maka tanaman itu tak akan tumbuh, malah bisa jadi akan dipatuk ayam.

Artinya, janganlah menonjolkan diri, tapi benamlah dirimu ke dalam ketidakterkenalan.

Selain itu, Mbah Hamid juga kerap meme lesetkan pesan-pesan Jawa agar mudah dicerna oleh masyarakat. Seperti saat menyampaikan ungkapan, "Kembang jagung dipetik Cino, barang wis kadung ya jarno" (kembang jagung dipetik Cina, barang yang sudah terlanjur ya dibiarkan).

Mbah Hamid memelesetkannya menjadi, "Kembang jagung dipetik Cino, barang wis kadung yo dibenakno" (kembang jagung di petik Cina, barang yang sudah terlanjur ya diperbaiki).

Dalam menyampaikan ajaran Islam, Mbah Hamid memang kerap memadukannya dengan kearifan lokal. Dengan demikian, sesuatu yang berat dapat dicerna dengan baik oleh para pendengarnya. Dengan sikapnya yang arif dan bijaksana, ucapan dan tindakan sang kiai pun berpengaruh di tengah masyarakat.

Mbah Hamid wafat pada Sabtu, 25 Desember 1982 dalam usia 70 tahun.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement