JAKARTA -- Ada pendapat yang menyebutkan bahwa seorang pengantin baru boleh meninggalkan sholat Jumat dan sholat berjamaah. Menurut Syekh Muhammad Shiddiq Al Minsyawi dalam Rajin Shalat tapi Masih Keliru, pendapat ini merupakan kesalahan tapi masih ada yang melakukan orang. Baik kalangan awam maupun terpelajar.
Menurut Syekh Muhammad Shiddiq, mereka yang berpendapat seperti itu bersandar pada hadits Nabi:
عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: مِنَ السُّنَّةِ إِذَا تَزَوَّجَ الرَّجُلُ البِكْرَ عَلَى الثَّيِّبِ أَقَامَ عِنْدَهَا سَبْعًا وَقَسَمَ، وَإِذَا تَزَوَّجَ الثَّيِّبَ عَلَى البِكْرِ أَقَامَ عِنْدَهَا ثَلاَثًا ثُمَّ قَسَمَ
Dari Anas bin Malik ra ia berkata: Bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda jika seorang menikahi seorang gadis, maka hendaklah ia menginap bersamanya selama tujuh hari tujuh malam. Sedang jika menikah dengan seorang janda, maka hendaklah ia menginap bersamanya selama tiga hari." (HR Muslim)
Menurut Syekh Muhammad Shiddiq, hadits tersebut secara tekstual tidak menunjukkan hal itu. Sayyidina Anas RA menafsirkannya sebagai berikut:
"Termasuk sunnah, jika menikah dengan seorang gadis maka suami bersamanya selama tujuh hari. Lalu baru menggilir (Qism, yaitu jika punya lebih dari satu istri). Jika menikah dengan seorang janda maka suami bersamanya selama tiga hari, lalu menggilir."
"Tidak terdapat keterangan pada hadits tersebut mengenai kebolehan meninggalkan sholat Jumat dan sholat berjamaah," tulis Syekh Muhammad Shiddiq.
Ibnu Hajar berkata, dimakruhkan baginya selama tujuh atau tiga hari tersebut untuk meninggalkan sholat jamaah atau kebaikan lain yang selama ini dilakukan. Hal ini dikatakan oleh Syafii.
Imam Rafi'i berkata, "Hal itu ketika siang hari. Adapun ketika malam hari tidak dmeikian. Sebab, sesuatu yang sunnah tidaklah menghilangkan yang wajib."
Imam Ibnu Daqiqil'id berkata dalam Kitab Fathul Bahri, "Sebagian ulama fikih berlebihan ketika berpendapat bahwa berdiamnya suami bersama istri menjadi alasan gugurnya sholat Jumat, hal ini sangatlah buruk."
*Catatan*
Dalam kata pengantar buku Rajin Shalat tapi Masih Keliru yang ditulis oleh Syekh Muhammad Shiddiq Al Minsyawi, disebutkan penulis tidak bermaksud memaksakan pendaptnya pada masalah-masalah yang menjadi perselisihan ulama. Penulis (Syekh Muhammad Shiddiq Al Minsyawi) hanya menjelaskan sebab-sebab pendapatnya, yaitu dengan mengikuti kaidah ilmu fikih atau ushul fikih, dengan menilai suatu hadits, shahih atau lemah. Sehingga, pembaa dapat membuka cakrawala keilmuwan. Dengan kata lain, penulis ingin berkata bahwa masalah ini bukanlah menjadi kesepakatan ulama. Maka tidak baik bagi seseorang menyalahkan orang lain yang berbeda dengannya. Wallahualam bishawab.