REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga non-profit Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) pada 2024 mengadakan survei kepada lebih dari 1.000 responden dari berbagai kalangan masyarakat. Dalam survei itu ditemukan sebagian besar masyarakat Indonesia melihat program subsidi energi, yaitu BBM, LPG, dan listrik yang selama ini dijalankan pemerintah belum tepat sasaran. Pemerintah perlu melakukan perubahan atau reformasi terhadap kebijakan subsidi ini.
Selain itu, ternyata sebagian besar responden juga tidak paham implikasi subsidi energi terhadap perekonomian. “PYC merekomendasikan perlunya penerapan subsidi langsung, tepat sasaran dan tepat guna kepada masyarakat rentan. Pemerintah juga perlu menerapkan mekanisme penetapan harga energi yang berbasis pasar, termasuk penerapan tarif regional & progresif berdasarkan volume konsumsi energi untuk mendorong efisiensi serta mengintegrasikan harga energi dengan biaya eksternalitas,” kata peneliti PYC Massita Ayu Cindy dalam siaran pers, Jumat (1/11/2024).
Ayu menambahkan, kebijakan reformasi subsidi energi harus dibarengi dengan digitalisasi penyaluran agar subsidi tepat sasaran dan tepat guna. Kemudian reformasi ini harus didukung verifikasi data kependudukan yang akurat serta penyesuaian harga energi secara bertahap disertai kompensasi bagi kelompok rentan untuk memitigasi dampak negatif.
"Subsidi bukanlah hal baru; sudah berlangsung sejak beberapa pemerintahan sebelumnya. Meski ini bukan subsidi langsung, tetapi serupa dengan transisi dari minyak tanah ke LPG 3 kg. Dari hasil wawancara peneliti PYC terhadap masyarakat, terlihat bahwa sosialisasi yang masif kepada masyarakat menjadi kunci keberhasilan, sehingga tidak bisa diabaikan," kata Ayu.
Menurutnya, peran pemerintah, baik pusat maupun daerah, sangat penting untuk menyadarkan masyarakat alasan program subsidi langsung dilakukan. Selain itu, digitalisasi dan administrasi kependudukan, termasuk data pelanggan listrik, perlu dirapikan dan disamakan agar tidak menimbulkan masalah kedepannya. Tanpa itu, subsidi harga energi sulit diubah menjadi subsidi langsung.
"Jika masyarakat tidak terlibat atau paham, bisa memicu disrupsi sosial-politik," katanya.