REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejakgung) membantah perihal salah-satu sumber timbunan uang hampir Rp 1 triliun, dan 51 Kg logam mulia yang ditemukan penyidik di rumah tersangka Zarof Ricar (ZR), berasal dari pengurusan kasus perdata pembelian 7 ton emas PT ANTAM oleh pengusaha Budi Said (BS) pada 2018. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar mengatakan timnya masih mendalami tentang berapa banyak kasus yang dalam pengaturan ZR sejak 2012.
“Sampai saat ini, kami belum dengar (terkait pengurusan kasus perdata BS),” kata Qohar di Kejakgung, Jakarta, Jumat (1/11/2024). “Penyidik masih terus bekerja untuk mengungkap, dan pada saatnya nanti pasti akan dilakukan gelar perkara,” sambung Qohar. Jampidsus Febrie Adriansyah sebelumnya meyakini, timbunan uang hampir Rp 1 triliun, dan kepingan emas sebanyak 446 lempeng yang ditemukan di rumah tersangka ZR adalah hasil dari praktik mafia pengurusan perkara di lingkungan pengadilan.
Febrie mengatakan, tim penyidiknya sedang melakukan inventarisir berapa banyak kasus, atau perkara yang ‘ditangani’ melalui peran pengaturan ZR di MA, maupun di tingkat peradilan lainnya. “Dia (ZR) mengaku lupa saking banyaknya. Dan penyidik saat ini sedang memperdalam dari alat-alat bukti yang lain,” kata Febrie, saat dihubungi Republika dari Jakarta, pada Selasa (29/10/2024). Febrie berjanji untuk mengungkapkan ke publik tentang hasil pendalaman penyidik tentang kasus-kasus apa saja yang dalam pengaruh praktik ‘mafia’ kasus yang dilakukan ZR selama ini.
Budi Said (BS), merupakan pengusaha asal Surabaya, Jawa Timur (Jatim), bos sekaligus pemilik konsorsium PT Tridjaya Kartika Group (TKG). BS, saat ini berstatus terdakwa. Dia dijerat hukum oleh kejaksaan, dan diajukan ke pengadilan terkait dengan tindak pidana korupsi (tipikor) dalam kasus transaksi, pembelian tak sah emas seberat total 7 ton dari PT ANTAM 2018. Dalam kasus yang ditangani oleh tim penyidikan Jampidsus itu disebutkan kerugian keuangan negara mencapai Rp 1,3 triliun. Dua pejabat PT ANTAM juga diajukan sebagai terdakwa dalam kasus yang sama sejak Januari 2024.
Sebelum dijerat hukum terkait korupsi, kasus pembelian 7 ton logam emas tersebut, sempat silang sengketa antara BS dan PT ANTAM. Dalam kasus keperdataan tersebut, berakhir inkrah dengan terkabulnya gugatan BS terhadap PT ANTAM. Kasus perdata BS versus PT ANTAM berawal dari pembelian emas seberat 7 ton pada 2018 di Butik Surabaya-1 PT ANTAM. Dalam realisasinya BS menyatakan, baru mendapatkan logam mulia yang dibelinya seberat 5,9 ton. BS yang merasa dirugikan, menggugat PT ANTAM untuk mendapatkan sisa emas dari PT ANTAM sebesar 1,3 ton. Gugatan perdata tersebut dimulai sekitar tahun 2021.
Gugatan perdata tersebut, bukan cuma ditujukan kepada PT ANTAM. Tetapi juga ditujukan kepada turut tergugat-2 Endang Kumoro (EK), Misdianto (MD) sebagai tergugat-3, Ahmad Purwanto (AP) sebagai tergugat-4, dan Eksi Anggraini (EA) sebagai tergugat-5. Di peradilan tingkat pertama, di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jatim, gugatan BS terkabul. Pengadilan mewajibkan PT ANTAM menyerahkan sisa penyerahan emas seberat 1,3 ton yang disebut menjadi hak milik BS dari kesepakatan pembelian. Namun begitu, di tingkat banding, di Pengadilan Tinggi (PT) Jatim, putusan hakim tinggi berbalik dengan menganulir putusan peradilan tingkat pertama.
Akan tetapi, BS melawan kemenangan PT ANTAM di tingkat banding tersebut, dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Dan hakim agung, mengembalikan putusan PN Surabaya yang memenangkan BS atas PT ANTAM. MA dalam putusannya menegaskan PT ANTAM wajib menyerahkan 1,3 ton emas kepada BS, atau setara Rp 1,1 triliun. PT ANTAM sempat melawan putusan kasasi tersebut, dengan mengajukan upaya hukum luar biasa, melalui Peninjauan Kembali (PK). Akan tetapi, MA menolak PK yang diajukan PT ANTAM tersebut. Hakim MA tetap pada putusan kasasi sebelumnya, yang memenangkan BS dalam sengketa tersebut.
Sehingga sengketa antara BS dan PT ANTAM itu menjadi inkrah dengan kewajiban PT ANTAM menyerahkan 1,3 ton emas kepada BS. Putusan inkrah tersebut, sampai hari ini, belum dilakukan eksekusi. Alih-alih mendapatkan haknya sesuai putusan hukum, BS malah dijerat tersangka oleh Jampidsus-Kejagung terkait transaksi emas dengan PT ANTAM tersebut. Karena menurut tim penyidikan Jampidsus, dalam transaksi pembelian emas tersebut, dilakukan dengan persekongkolan, dan permufakatan jahat, yang menyebabkan PT ANTAM mengalami kerugian triliunan rupiah.
Sementara kasus yang terkait dengan ZR, merupakan penangkapan terduga mafia peradilan terbesar yang dilakukan kejaksaan. ZR adalah mantan pejabat tinggi di MA, yang pernah dipercaya sebagai kepala badan diklat hakim, dan peradilan di MA. Penyidik Jampidsus-Kejakgung menangkap ZR di Jimbaran, Bali pada Kamis (24/10/2024). Sebelum menangkap ZR, tim penyidik Jampidsus, pada Rabu (23/10/2024) terlebih dahulu menangkap empat orang. Tiga diantaranya adalah hakim di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jawa Timur (Jatim), yakni Erintuah Damanik (ED), Mangapul (M), dan Heru Hanindyo (HH), dan satu pengacara Lisa Rahmat (LR).
Ketiga hakim tersebut ditangkap karena diduga menerima uang suap-gratifikasi dari LR, selaku pengacara dari terdakwa Gregorius Ronald Tannur yang divonis bebas dari tuntutan 12 tahun penjara terkait kasus pembunuhan Dini Sera Afriyanti. Dari penangkapan LR, ED, M, dan HH, penyidik Jampidsus menemukan barang bukti uang dalam berbagai mata uang kurang lebih Rp 20,7 miliar. Dalam kelanjutan penyidikan kasus tersebut, Jampidsus menemukan peran ZR yang diminta oleh LR, untuk ‘mengatur’ putusan kasasi di MA ajuan Jaksa Penuntut Umum (JPU), atas vonis bebas Ronald Tannur di PN Surabaya itu.
Abdul Qohar, sebelumnya pernah mengungkapkan, dari pemeriksaan terhadap LR, diketahui pengacara perempuan itu, menyerahkan uang Rp 1 miliar dalam valuta asing kepada ZR. LR juga menyerahkan valuta asing sekitar Rp 5 miliar untuk diserahkan kepada hakim agung yang memutus kasasi Ronald Tannur. Dari penggeledahan yang dilakukan di kediaman ZR di kawasan Senayan, Jakarta Selatan (Jaksel), penyidik Jampidsus menemukan timbunan uang mencapai Rp 1 triliun dari berbagai mata uang. Penyidik juga menemukan timbunan kepingan emas sebanyak 446 keping dengan berat total mencapai 51 Kg yang jika dikonversi mencapai Rp 75 miliar.
Kasasi kasus Ronald Tannur sendiri, pada Selasa (22/10/2024) membatalkan vonis bebas PN Surabaya dengan hanya menghukum putra dari politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu dengan penjara 5 tahun. Adapun terkait dengan temuan berupa timbunan uang total Rp 922 miliar dan emas 51 Kg di rumah ZR, penyidik mengungkapkan barang bukti tersebut merupakan hasil dari kejahatan yang dilakukan ZR dalam melakukan praktik mafia peradilan, berupa pengaturan-pengaturan vonis perkara di MA, maupun di peradilan lainnya. ZR kata Qohar, mengakui timbunan uang tersebut dikumpulkan sepanjang 2012 sampai 2022.