Senin 04 Nov 2024 13:40 WIB

Lima Tahun Indonesian Aid: Bantuan Kemanusiaan hingga Diplomasi Ekonomi

Indonesian Aid berperan besar membuka peluang pelaku usaha domestik go international.

Indonesian Aid
Foto: dokpri
Indonesian Aid

Oleh : Deasi Widya (Analis Kebijakan Kerja Sama Internasional yang bekerja untuk Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan)

REPUBLIKA.CO.ID, Oktober 2024 menandai lima tahun berdirinya Indonesian Aid, sebutan bagi Lembaga Dana Kerja Sama Pembangunan Internasional (LDKPI) milik Indonesia. Seperti anak berusia lima tahun yang penuh rasa ingin tahu dan semangat melakukan banyak hal, Indonesian Aid juga melalui berbagai milestone dalam perkembangannya.

Diluncurkan pada 18 Oktober 2019, Wakil Presiden Jusuf Kalla saat itu menekankan pendekatan solidaritas bagi Indonesian Aid dalam menjalankan programnya. Tidak hanya memberi bantuan kemanusiaan saat krisis dan bencana, Indonesian Aid juga fokus pada bantuan pembangunan untuk negara mitra.

Peran Indonesian Aid lebih dari sekadar lembaga pemberi bantuan biasa. Pemerintah ingin menjadikannya sebagai bagian strategis dari diplomasi politik dan ekonomi Indonesia. Ambisi menjadi kekuatan regional dan emerging power di kancah internasional pun diharapkan lebih cepat terwujud dengan dukungan beragam program dan bantuan pembangunan yang diberikan. Tujuannya, tentu untuk meningkatkan pengaruh Indonesia di mata dunia.

Di sisi lain, kepentingan Indonesia, baik saat pemerintahan Presiden Joko Widodo maupun pada administrasi Presiden Prabowo, adalah memajukan agenda ekonomi nasional. Termasuk dengan meningkatkan ekspor ke pasar non-tradisional. Oleh karenanya, agenda penting ini pun tak terelakkan menjadi bagian dari kebijakan pemberian hibah melalui Indonesian Aid untuk masyarakat global.

Dalam perjalanannya, Indonesian Aid berperan besar membuka peluang bagi pelaku usaha domestik untuk go-international. Misalnya, pada tahun 2023, Indonesian Aid menyediakan 1,5 juta dosis vaksin pentavalen senilai Rp 30,3 miliar (USD 19 juta) untuk membantu program kesehatan di Nigeria. Vaksin diproduksi oleh PT Bio Farma, yang kemudian mendapat pesanan lanjutan dari perusahaan farmasi di sana.

Di masa depan, skema bantuan seperti ini potensial untuk memperluas akses pasar bagi banyak perusahaan lokal. Dengan catatan, apabila perencanaan dan pelaksanaannya digarap secara optimal.

Dalam konteks regional, selama 2020-2023, Indonesian Aid telah memberikan bantuan senilai Rp 62,95 miliar (USD 40 juta) atau sekitar 17,65 persen dari total hibahnya untuk kawasan Pasifik. Pemerintah memang menempatkan kawasan Asia Tenggara dan Pasifik sebagai prioritas utama pada strategi kerja sama pembangunan internasional. Bantuan untuk Pasifik selama ini mencakup technical assistance, bantuan proyek, dan dukungan kemanusiaan, termasuk respons saat pandemi Covid-19 terjadi.

Sementara di Asia Tenggara, Indonesian Aid juga berperan dalam menegaskan posisi Indonesia sebagai pemimpin kawasan. Selama Lao PDR-ASEAN Chairmanship 2024, Indonesia memberikan bantuan teknis dan finansial. Khususnya untuk rangkaian pertemuan dalam sektor keuangan. Hibah bertujuan untuk membantu kelancaran dan efektivitas Laos sebagai ketua ASEAN. Di samping itu, pemberian hibah pun dimaksudkan untuk mendukung keberlanjutan ASEAN Treasury Forum yang pembentukannya merupakan inisiasi Indonesia pada kepemimpinan sebelumnya.

Sebagai lembaga donor, modalitas Indonesian Aid mencakup bantuan proyek untuk pengadaan barang atau jasa, bantuan dukungan keuangan, bantuan teknis, serta beasiswa.

Menariknya, meskipun mulai berperan sebagai donor, Indonesia tidak lantas meninggalkan posisi recipient country. Sebagai negara berkembang, adanya dualitas ini masih bisa dimaklumi. Namun di sisi lain, peran ganda juga berpotensi menghambat keberhasilan serta mengurangi efektivitas dan efisiensi dari kemitraan pembangunan yang dijalankan. Konsekuensinya, para pemangku kebijakan perlu menyusun strategi dan arah yang jelas untuk menavigasi program hibah luar negeri Indonesia, baik sebagai pemberi maupun penerima.

Untuk menyeimbangkan kedua peran dalam pembangunan internasional, setidaknya pemerintah dapat melakukan tiga langkah nyata.

Pertama, lebih selektif dalam menerima bantuan dari negara mitra. Indonesia memang masih membutuhkan dukungan dari mitra pembangunan untuk menuju sustainable development goals 2030. Namun, menyeleksi program-program pembangunan mana yang perlu dukungan dan mana yang bisa dilakukan tanpa bantuan, tentu dapat mendorong kemandirian.

Lebih jauh, penting untuk menyelaraskan bantuan yang diterima Indonesia dengan agenda kerja sama pembangunan internasional yang dilakukan melalui hibah Indonesian Aid. Pemerintah perlu dengan seksama memilih program dan proyek kerja sama. Akan lebih efisien apabila Indonesia menerima dukungan dari mitra pembangunan yang sekaligus dapat meningkatkan kapasitas yang diperlukan saat memberikan bantuan kepada negara lainnya.

Kedua, memperkuat peran Indonesia melalui kerangka Kerja Sama Selatan-Selatan dan Triangular. Sejarah tak akan melupakan peran Indonesia saat KSST mulai dikenalkan dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955. Pertemuan yang merupakan tonggak penting dalam membangun solidaritas dan kerja sama antara negara berkembang ini masih relevan dijalankan hingga sekarang.

Pemerintah sendiri telah membentuk tim nasional yang khusus berkoordinasi sejak 2010 agar kerangka kerja sama ini dapat efektif diimplementasikan. Melalui KSST pula, Indonesia berkontribusi mendukung pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Utamanya dalam bidang pengentasan kemiskinan, kesehatan, dan pendidikan.

Selain melibatkan kolaborasi antarnegara berkembang untuk berbagi sumber daya, pengalaman, dan pengetahuan, skema KSST juga membuka peluang untuk membangun koneksi dan jejaring kerja lebih kuat dengan mitra donor tradisional yang lebih dulu ada.

Ketiga, meningkatkan kemitraan dengan institusi global dan regional yang relevan. Kemitraan dengan organisasi internasional dapat membantu memperkuat perencanaan, monitoring-evaluasi, dan implementasi program, serta memastikan jalannya inisiatif yang berkelanjutan.

Kolaborasi merupakan senjata ampuh untuk efektivitas kerja sama pembangunan internasional. Dengan kolaborasi bersama negara serta organisasi donor lainnya, terbuka peluang dalam memobilisasi lebih banyak sumber daya untuk berbagai proyek kerja sama pembangunan di masa depan.

Dengan begitu, peran Indonesia sebagai donor juga penerima bantuan pembangunan menjadi lebih kuat dan seimbang.

Dari sisi perspektif jangka panjang, penting bagi pemerintah untuk menyusun kebijakan strategis yang fokus pada bagaimana meningkatkan peran serta kapasitas Indonesia dalam pembangunan global secara lebih efektif dan efisien.

Langkah pembentukan Indonesian Aid sebagai platform khusus pemberian bantuan ke luar negeri tentu merupakan hasil dari proses penyusunan kebijakan yang patut diapresiasi.

Hingga lima tahun usianya, Indonesian Aid dapat diakui telah menjadi bagian signifikan sebagai alat diplomasi internasional. Tentu saja masih terbuka ruang perbaikan untuk efektivitas bantuan dan penyelarasannya dengan agenda nasional.

Mengingat pengalamannya dalam memberikan hibah pembangunan infrastruktur di beberapa negara, Indonesian Aid memiliki modal berharga untuk menyediakan jenis program bantuan lainnya.

Ke depan, pemerintah dapat mempertimbangkan untuk mulai menyediakan opsi pinjaman lunak atau pembiayaan proyek melalui Indonesian Aid bagi negara berkembang. Sebagai pilot, penyediaan pinjaman lunak yang pertama dapat dimulai dengan membuka peluang pendanaan program infrastruktur bagi negara mitra di kawasan.

Peluang ada di depan mata. Indonesian Aid dapat menjadi kekuatan dalam diplomasi internasional dengan strategi yang tepat guna. Indonesia pun dapat berkontribusi serta membawa dampak lebih besar bagi negara-negara mitra juga dalam pembangunan dunia.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement