Tom Lembong ditangkap Kejaksaan Agung dengan tuduhan telah merugikan negara Rp 400 miliar karena mengeluarkan izin impor gula saat ia menjadi menteri pergadangan. Tetapi penangkapannya memunculkan pro-kontra: mengapa hanya Tom Lembong yang diperiksa? Kenapa menteri perdagangan yang lain tidak diperiksa?
Kejagung menjawab jika ada laporan dari masyarakat adanya indikasi korupsi yang dilakukan menteri perdagangan lainnya, akan ditindaklanjuti juga. Tapi apa pemeriksaan Tom Lembong karena ada laporan? Atau karena perintah?
Bicara soal gula, dulu ada anggota Volksraad dari Sumatra, Ali Moesa, yang jadi musuh bersama kaum nasionalis Indonesia. Ia telah melukai semangat pergerakan kebangsaan Indonesia, karena akan menerbitkan koran dengan meminta dukungan dari para pengusaha gula.
Dengan korannya itu, Ali Moesa akan menyampaikan propagandanya: setia kepada kekuasaan Belanda. Untuk menjamin keberlangsungan hidup koran itu, Ali Moesa meminta dukungan dari Sindikat Gula (asosiasi perusahaan gula) dengan cara meminta mereka melanggan koran yang akan diterbitkannya itu.
Ali Moesa telah meminta bantuan kepada Sindikat Gula dengan diperantarai oleh Bruineman dan Fruin, juga anggota Volksraad. Publik geger karena notulensi pertemuan tertutup Ali Moesa dengan Sindikat Gula dibocorkan oleh majalah Timboel pada Oktober 1928.
Kritik pun mengarah ke Ali Moesa. Mulai dari Husni Thamrin sesama anggota Volksraad hingga organisasi Budi Utomo, lewat korannya, Darmokondo.
Ketika kasus ini mencuat dan dibicarakan di Volksraad, Ali Moesa mengelak telah melakukannya. Anggota Volksraad yang Belanda tentu saja mendukung rencana Ali Moesa, sebab kehadiran koran yang akan diterbitkan Ali Moesa akan menjadi penyeimbang arus nasionalisme yang diteriakkan oleh bangsa Indonesia.
Maka, seperti yang telah dilakukan kepada Notosuroto, pendiri Perhimpunan Indonesia, Darmokondo juga “menendang” Ali Moesa dari barisan “Indonesier” (orang Indonesia). Notosuroto melakukan propaganda Indonesia harus tetap berada di bawah kekuasaan Belanda, demikian juga Ali Moesa.
“Ali Moesa kekurangan sigaret, minta tembakau kepada Menir Fruin, itulah dia punya perkara sendiri! Ali Moesa kekurangan gula untuk teh dan kopi minumannya, itu pun dia punya perkara pula!! Kita tidak mau sudi campur dalam Ali Moesa empunya ‘urusan rumah tangga’. Tetapi ia mau siramkan air perasan tembakau di muka kita. Ia mau sebarkan gula pasir di nasi makanan kita!! Hingga sudahlah jadi hak dan wajib kita untuk menolak dan pertahankan diri,” tulis Darmokondo pada November 1928.
“Pak Ali Moesa sangat setia kepada penguasa Belanda bahkan bisa dikatakan sebagai penentang kelompok nasionalis di Jawa yang akhir-akhir ini gencar mendeklarasikan 'persatuan Indonesia',” tulis De Sumatra Post pada November 1928.
Menjadi penentang kaum nasionalis Indonesia, membuat anggota Volksraad Ali Moesa menjadi musuh bersama. Keinginannya menerbitkan koran untuk propaganda pro-kekuasaan Belanda, telah membuat marah kaum nasionalis Indonesia.
Untuk menerbitkan korannya itu, ia meminta dukungan dari para pengusaha gula. Mereka diminta untuk melanggan koran yang akan ia terbitkan itu. Ketika kini ada Tom Lembong ditangkap Kejagung karena tuduhan korupsi impor gula, Kejagung pun mendapat banyak kritik.
“Tetapi Ali Moesa, itu lid Volksraad, yang merendahkan ‘derajat’ lidmaatschapnya, yang menurunkan kedudukannya dari Indonesier ke Inlander dengan perbuatannya ‘minta-minta’ pada kaum gula itu, sudah membuat kelucuan,” tulis Darmokondo.
Kelucuan yang disebut Darmokondo berharga mahal. Itu dianggap menunjukkan kualitas Ali Moesa sebagai bukan orang Indonesia tulen. Darmokondo lalu mempertegas diri, sebagai perusahaan koran milik Budi Utomo, koran itu dipimpin oleh orang Indonesia, modalnya modal Indonesia, dan menggelorakan semangat persatuan Indonesia.
Priyantono Oemar