Selasa 05 Nov 2024 16:41 WIB

Perlukah Ujian Nasional Kembali Diterapkan? Ini Opini dari Pengamat Hingga BRIN

Ujian Nasional merupakan salah satu alat ukur standar pendidikan.

Seorang guru memberikan arahan kepada siswa disabilitas sebelum menjalani ujian asesmen nasional berbasis komputer (ANBK) di SLBN Cicendo, Bandung, Jawa Barat. (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Raisan Al Farisi
Seorang guru memberikan arahan kepada siswa disabilitas sebelum menjalani ujian asesmen nasional berbasis komputer (ANBK) di SLBN Cicendo, Bandung, Jawa Barat. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti pernah mengatakan bahwa dirinya akan mengevaluasi perlu tidaknya mengembalikan ujian nasional (UN) sebagai ujian terstandar untuk menentukan kelulusan siswan dan seleksi penerimaan peserta didik baru. Menurut pengamat pendidikan, Elly Hasan Sadeli, wacana mengembalikan UN perlu kajian dan pertimbangan matang.

"Kemarin saya melihat Pak Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah ada upaya memberlakukan kembali Ujian Nasional. Tentu dalam perspektif saya bahwa kembalinya Ujian Nasional ini bisa menjadi isu yang kompleks, dan saya yakini akan melahirkan pro dan kontra," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Selasa (5/11/2024).

Baca Juga

Elly mengatakan beberapa aspek bisa dianalisis dari rencana penerapan kembali UN, antara lain dampak dari kualitas pendidikan, kesiapan sekolah, dan kesiapan siswa. Selain itu, kata dia, harus dilihat pula bagaimana relevansi UN sebagai alat evaluasi pendidikan di era modern.

"Jadi yang pasti ada yang pro dan ada yang kontra meskipun mungkin beberapa guru setuju, beberapa guru tidak setuju. Bahkan menurut saya, yang paling banyak tidak setuju itu pasti siswa," kata Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) itu.

Kendati demikian, Elly mengakui Ujian Nasional merupakan salah satu alat ukur standar pendidikan, sehingga rencana pemberlakuan kembali UN diprediksi didasari oleh kebutuhan untuk memastikan standar nasional pendidikan. Ia mengatakan hal itu disebabkan dengan adanya UN, pemerintah seperti punya instrumen untuk mengevaluasi dan membandingkan capaian siswa di berbagai wilayah Indonesia.

"Ini tentu saja bisa membantu pemerintah untuk mengidentifikasi kesenjangan kualitas pendidikan kita yang memang belum merata. Namun, pertanyaannya apakah UN ini alat ukur terbaik untuk tujuan, nah ini yang masih dipertanyakan terutama dengan adanya metode penilaian alternatif seperti Asesmen Nasional," katanya.

Dalam hal ini, kata dia, Asesmen Nasional dilakukan untuk mengukur tiga hal yang meliputi asesmen kompetensi minimum, survei karakter, dan survei lingkungan belajar. Akan tetapi, kata dia, Asesmen Nasional tersebut tidak dijadikan satu-satunya alat untuk melegitimasi siswa itu lulus atau tidak lulus.

"Kritik saya terhadap UN itu karena fokusnya lebih kepada hasil. Nah, ini tentu saja bisa mengurangi kualitas pembelajaran," kata Elly.

Dengan demikian, kata dia, guru dan siswa atau peserta didik kemungkinan lebih cenderung mengutamakan persiapan UN daripada pemahaman mendalam terhadap materi tertentu. Oleh karena itu, muncul istilah kegiatan belajar mengajar hanya untuk kepentingan tes atau pembelajaran yang difokuskan pada soal-soal ujian.

Menurut dia, hal itu mengakibatkan proses pembelajaran menjadi terbatas pada materi yang akan diuji. Sehingga mengurangi pengembangan keterampilan berpikir kritis dan kreativitas siswa serta mengurangi kemampuan siswa dalam memecahkan masalah.

"Kemudian kesiapan infrastruktur dan guru harus diperhatikan karena kita tidak bisa pukul rata, sementara di berbagai wilayah infrastukturnya tidak merata seperti ketersediaan sumber daya manusia dan teknologi," katanya,

Menurut dia, kondisi tersebut menyebabkan ketidaksetaraan peluang siswa untuk sukses di UN, sehingga pada akhirnya akan memperbesar kesenjangan pendidikan antarwilayah.

Dengan demikian jika UN akan dijadikan sebagai satu-satunya alat ukur kelulusan, kata dia, tentu harus disiapkan lebih dulu infrastuktur dan gurunya agar merata.

"Juga harus diperhatikan dampak psikologis pada siswa karena UN dapat meningkatkan stres pada siswa terutama jika UN menjadi satu-satunya alat penentu kelulusan," katanya menjelaskan.

Elly mengatakan, evaluasi pendidikan di banyak negara tidak hanya bertumpu pada satu tes atau ujian akhir yang seragam. Bahkan saat sekarang, kata dia, sistem pendidikan di beberapa negara maju sudah mulai bergeser ke arah asesmen yang berbasis pada kompetensi, yang lebih menilai kemampuan praktis siswa dalam menghadapi kehidupan nyata.

"Mungkin kita bisa mengadopsi seperti itu meskipun memang UN bukan sesuatu yang keliru, karena merupakan alat ukur yang paling gampang untuk menentukan kelulusan," katanya.

Terkait dengan hal itu, Elly mengatakan pemberlakuan kembali UN memerlukan pertimbangan yang matang dalam relevansinya untuk memenuhi tujuan pendidikan nasional, terutama di tengah perubahan dan inovasi dalam sistem pendidikan modern.

"Jika memang perlu diterapkan kembali, pemerintah perlu memastikan bahwa UN tidak menjadi satu-satunya penilaian, apalagi untuk menentukan kelulusan," katanya menegaskan.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement