REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak wahyu pertama diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW lebih dari 1400 tahun silam, Islam disebarkan melalui dakwah. Rasulullah SAW pun telah memberikan suri teladan tentang cara-cara dakwah.
Merujuk pada sirah Nabawiyah, awalnya Rasulullah SAW melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi, door to door dari rumah ke rumah. Inilah fase yang penuh tantangan. Betapa jumlah kaum Muslimin saat itu sangat kecil bila dibandingkan dengan kaum musyrikin, apalagi para petinggi yang enggan meninggalkan tradisi Jahiliyah.
Selain dari kaum Quraisy, cercaan dan rintangan juga datang dari sebagian kalangan keluarga SAW sendiri yang belum menerima ajaran Islam. Ambil contoh, seorang paman Nabi SAW yang bernama Abu Lahab. Ia amat memusuhi dakwah Islam. Alquran bahkan mengabadikan sifatnya dalam surah al-Lahab.
Setelah dakwah sembunyi-sembunyi, turun perintah dari Allah agar Rasulullah SAW berdakwah secara terang-terangan. Ini terus beliau lakukan, tanpa menyerah dan tunduk pada kemauan kaum musyrikin. Selanjutnya, Nabi SAW dan kaum Muslimin berhijrah dari Makkah ke Madinah.
Banyak peristiwa yang dilalui Nabi SAW untuk menyampaikan risalah Islam, baik selama di Makkah, Madinah, maupun kota-kota sekitar. Puncaknya, ketika pembebasan Makkah (fathu Makkah) terjadi.
Nabi SAW merupakan seorang ummiy, yakni tidak bisa membaca dan tak bisa pula menulis. Namun, hal itu tidak berarti beliau SAW menafikan pentingnya metode dakwah melalui tulisan. Maka dari itu, banyak surat-surat yang berisi ajakan memeluk Islam dikirimkannya ke para petinggi bangsa-bangsa dunia, baik Arab maupun non-Arab.
Di antara para pemimpin yang menerima surat dari Rasul SAW itu adalah, Raja Heraklius dari Bizantium; Raja Mukaukis dari Mesir; Raja Kisra dari Persia (Iran); serta Raja Najasyi dari Habasyah (Ethiopia).
Kaidah berdakwah