Kamis 07 Nov 2024 23:49 WIB

Buruh & Pengusaha Masih Berseberangan Soal Penetapan UMP Jateng 2025

Rumus penghitungan UMP 2025 nantinya menyertakan kebutuhan hidup layak.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Karta Raharja Ucu
Ilustrasi Buruh pabrik. Organisasi serikat pekerja dan kelompok pengusaha di Jawa Tengah (Jateng) masih sama-sama menunggu regulasi pemerintah untuk penetapan upah minimum provinsi (UMP) 2025.
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A.
Ilustrasi Buruh pabrik. Organisasi serikat pekerja dan kelompok pengusaha di Jawa Tengah (Jateng) masih sama-sama menunggu regulasi pemerintah untuk penetapan upah minimum provinsi (UMP) 2025.

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Organisasi serikat pekerja dan kelompok pengusaha di Jawa Tengah (Jateng) masih sama-sama menunggu regulasi pemerintah untuk penetapan upah minimum provinsi (UMP) 2025. Hal itu menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materi atas Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (Ciptaker).

Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Jateng, Heru Budi Utoyo, mengungkapkan, dalam uji materi UU Ciptaker di MK, tersingkap bahwa terdapat beberapa aturan atau regulasi yang tak bisa dijalankan. "Salah satunya adalah terkait dengan pengupahan atau PP (Peraturan Pemerintah No.) 51/2023," kata Heru ketika dihubungi Republika, Kamis (7/11/2024).

Dia menambahkan, dalam putusannya, MK memang tidak secara eksplisit menyebutkan PP No.51/2023. "Tapi dengan beberapa pasal yang telah dicabut, tentunya PP 51 sudah tidak berlaku lagi. Apalagi dari DPR sudah memaknai sama dengan pihak pekerja atau buruh, bahwa PP 51 sudah tidak berlaku lagi," ucapnya.

Heru menjelaskan, karena PP No.51/2023 tentang Perubahan Atas PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Pengupahan tak berlaku lagi, maka untuk penentuan UMP 2025, dibutuhkan Peraturan Menteri Ketenagerjaan (Permenaker) sebagai rujukan. Dia berharap, rumus penghitungan UMP 2025 nantinya menyertakan kebutuhan hidup layak (KHL).

Heru mengungkapkan, rumus penghitungan UMP dalam PP No.51/2023 tidak menyertakan KHL, tapi indeks tertentu. "Indeks tertentu itu dari inflasi dan pertumbuhan ekonomi kemudian dikalikan indeks tertentu 0,1 sampai 0,3. Jadi berapa pun besarnya inflasi dan pertumbuhan ekonomi, kalau dikalikan 0,1 sampai yang tertinggi adalah 0,3, maka nilainya akan turun. Itu yang jadi persoalaan," ucapnya.

Dia mengatakan, fungsi dewan pengupahan daerah harus dikembalikan untuk melakukan survei KHL. Heru mengungkapkan, terdapat beberapa indikator yang disurvei dalam KHL, meliputi kebutuhan sandang, pangan, papan, hingga jaminan sosial.

Menurut Heru, survei KHL terkahir kali dilakukan pada 2015. "Kemudian pasca 2015 sampai dengan sekarang tidak ada lagi survei. Maka jelas sekali itu kami menganggap tidak relevan. Karena survei yang dilakukan tahun 2015 kemudian dipakai untuk upah di tahun 2024," ucapnya.

Heru mengatakan, untuk UMP 2025, KSPN Jateng dan serikat pekerja lainnya menuntut kenaikan sebesar 15 persen. "Jadi 15 (persen) itu berdasarkan survei dalam kebutuhan hidup layak, ditambah inflasi dan pertumbuhan ekonomi, maka angkanya berkisar 15 persen," ujar Heru.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement