Jumat 08 Nov 2024 14:29 WIB

AHF: Kesepakatan Penanganan Pandemi WHO Wujudkan Keadilan Layanan Kesehatan Antarnegara

AHF mengupayakan Indonesia ikut menyetujui kesepakatan penanganan pandemi WHO.

Lutfiyah Hanim, peneliti di Indonesia for Global Justice (IGC)  bersama Asep Eka Nurhidayat, Country Program Manager AHF Indonesia berfoto bersama setelah kampanye SOS.
Foto: Erdy Nasrul/Republika
Lutfiyah Hanim, peneliti di Indonesia for Global Justice (IGC) bersama Asep Eka Nurhidayat, Country Program Manager AHF Indonesia berfoto bersama setelah kampanye SOS.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sebuah kampanye Save Our Society (SOS) oleh AIDS Healthcare Foundation (AHF) Indonesia terselenggara di Jakarta pada Rabu (7/11/2024). Tujuan kegiatan ini adalah untuk mendorong kesetaraan dan keadilan mendapatkan layanan kesehatan antarkawasan.

Pengalaman menghadapi pandemi Covid-19 menghasilkan evaluasi bahwa layanan mendapatkan vaksin hanya bisa didapatkan, bahkan dimonopoli negara produsen vaksin. Sedangkan negara lain yang tidak bisa memproduksi vaksin, harus menunggu dan berusaha lebih untuk bisa mendapatkan layanan tersebut.

Baca Juga

AHF menilai hal tersebut menjadi pembicaraan serius di WHO. Juga menjadi salah satu alasan menyusun kesepakatan penanganan pandemi atau disebut juga WHO Pandemic Agreement.

Organisasi tersebut menjelaskan, pandemi Covid-19 memperlihatkan kesenjangan kritis dalam akses layanan kesehatan, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Akses terhadap vaksin dan pasokan penyelamat kehidupan tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara kaya atau maju. Dengan memajukan produksi yang terdesentralisasi dan menerapkan berbagi teknologi, Asia dapat memimpin upaya menuju kerangka kesehatan global yang lebih adil dan lebih siap.

“Melalui komitmen bersatu untuk kesetaraan berkeadilan, kita dapat menciptakan Pandemic Agreement yang tidak hanya melayani Asia tetapi juga membangun ketahanan untuk semua, memastikan tidak ada wilayah yang dibiarkan rentan dalam krisis di masa depan,” kata Asep Eka Nurhidayat, Country Program Manager AHF Indonesia.

Kampanye SOS ini mendesak agar pandemic agreement yang baru mencakup:

Kapasitas Produksi Regional (Regional Production Capacity)

Mekanisme konkret untuk memfasilitasi produksi vaksin lokal, diagnostik, dan therapeutics di negara-negara south global. Hal ini memerlukan peta jalan yang mengikat transfer pengetahuan, teknologi, dan pembiayaan berkelanjutan jangka panjang, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 9, 10, dan 11 dari rancangan pandemic agreement ini.

 

Transfer Teknologi (Technology Transfer)

Ketentuan yang dapat dipaksakan untuk memastikan bahwa transfer teknologi tidak dibatasi pada syarat sukarela dan yang disepakati bersama, tetapi memberikan negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (LMIC) fleksibilitas yang sama seperti negara kaya seperti Amerika Serikat, yang dapat menggunakan cara non-sukarela dan langkah-langkah tambahan untuk mengatasi keadaan darurat kesehatan masyarakat dan krisis lainnya.

Pembiayaan Berkelanjutan (Sustainable Financing)

Perjanjian tersebut harus menjamin komitmen finansial jangka panjang yang mengikat negara-negara berpenghasilan tinggi untuk mendukung kesiapsiagaan dan respon pandemi bagi negara-negara LMIC. Kontribusi sukarela (voluntary contribution)saja tidak akan cukup, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 20.

Partisipasi Masyarakat Sipil (Civil Society Participation)

Efektivitas Tata kelola kesehatan global kini mengakui peran penting masyarakat sipil dan non-state actors lainnya dalam proses pengambilan keputusan. Mengadopsi model tata kelola yang memasukan partisipasi penting dan dapat meningkatkan legitimasi, memperkuat akuntabilitas, dan mengubah arsitektur keamanan kesehatan global menjadi sistem yang lebih adil dan efektif untuk mencegah, mempersiapkan, dan merespon ancaman kesehatan global dengan lebih baik.

Saat negosiasi pandemic agreement mencapai titik kritis, AHF sekali lagi menghimbau negara- negara Asia untuk mendukung perjanjian yang berarti banyak dan dapat memaksa promosi kesetaraan kesehatan masyarakat serta membangun masa depan yang siap dan tangguh.

Lutfiyah Hanim, peneliti di Indonesia for Global Justice (IGC) menjelaskan saat ini sejumlah negara di Afrika dilanda pandemi cacar monyet. Hingga 19 Oktober 2024, jumlah korban meninggal dunia akibat cacar monyet (Monkey Pox/Mpox) di Afrika mencapai 1.100 jiwa. Sementara itu, jumlah kasus yang dilaporkan di Afrika pada tahun ini telah mencapai lebih dari 42.000 kasus.

Sementara itu, produsen vaksin cacar monyet berdasarkan catatannya hanya ada satu di sebuah negara Nordik. Kawasan Afrika yang sekarang dilanda wabah tersebut tidak mendapatkan lisensi untuk produksi vaksin penyakit itu. Mereka juga kesulitan untuk menjangkau antibodi agar terhindar dari cacar monyet. “Di sinilah kami melihat kesepakatan penanganan pandemi ini harus betul-betul mewujudkan kesetaraan dan keadilan mendapatkan layanan kesehatan di semua negara,” kata Lutfiyah.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement