Jumat 08 Nov 2024 19:43 WIB

Saat PM Singapura Bicara Soal Islam

PM Singapura ingin Muslim menerapkan 'Islam Singapura'.

Rep: Stevy Maradona/ Red: Fitriyan Zamzami
Perdana Menteri Singapura Lawrence Wong saat diwawancarai sejumlah wartawan di Jakarta Pusat, Selasa (5/11/2024).
Foto: Dok Kedubes Singapura untuk Indonesia
Perdana Menteri Singapura Lawrence Wong saat diwawancarai sejumlah wartawan di Jakarta Pusat, Selasa (5/11/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sebelum menemui Presiden Prabowo Subianto pekan ini, Perdana Menteri Singapura Lawrence Wong menyempatkan diri diwawancarai sedikit media di Indonesia, termasuk Republika. Ia menjawab panjang lebar saat ditanyai Republika soal rencana pembangunan Kampus Islam Singapura.

Ia menuturkan, saat ini banyak Muslim Singapura yang belajar agama islam ke luar negeri. Menurut PM Wong, yang mereka pelajari di luar harus disesuaikan juga dengan konteks ke-Singapura-an saat mereka kembali ke tanah air. “Kami selalu mengirim siswa kami ke luar negeri untuk studi agama, studi Islam,” ujar PM Singapura.

Baca Juga

Ia menginginkan, para pelajar Muslim itu tak hanya memahami prinsip-prinsip Islam di luar negeri. Tetapi juga bagaimana penerapan prinsip-prinsip tersebut dalam konteks Singapura. “Karena kami adalah masyarakat multiras, multiagama,” ujarnya. “Dan ini bukan hanya satu keyakinan, tapi banyak keyakinan dan kita harus hidup bersama secara harmonis satu sama lain.”

Saat inipun, kata PM Singapura, negaranya sudah memiliki program sertifikasi pascasarjana bagi para siswa Muslim yang kembali dari luar negeri setelah menyelesaikan studi mereka. “Jadi ide Perguruan Tinggi Islam sebenarnya hanyalah untuk melangkah lebih jauh. Daripada hanya memiliki program sertifikasi, kami pikir sudah waktunya mengingat bagaimana kami telah mengembangkannya selama bertahun-tahun untuk memiliki lembaga kami sendiri, perguruan tinggi Islam sendiri.”

Kampus Islam ini, menurut PM Singapura, juga penting mengingat demografi negaranya yang mulai berubah. “Seperti yang kita bicarakan, budaya kami yang multi-ras, masyarakat multi-agama kami, bagaimana kami bisa hidup harmonis satu sama lain, itu juga penting,” kata dia.

“Jadi itulah motivasi di balik perguruan tinggi ini. Meskipun kami sedang dalam proses mengerjakan detailnya, kami mungkin akan melakukan ini dalam kemitraan dengan baik institusi lokal maupun luar negeri. Namun semua ini masih dikerjakan dan pada akhirnya kami akan mengumumkannya jika kami sudah siap.”

Merujuk laporan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (AS) terkait kebebasan beragama di Singapura, sebanyak 74,3 persen penduduk negara pulau itu adalah etnis Tionghoa. Selanjutnya adalah 13,5 persen etnis Melayu, 9 persen etnis India, dan 3,2 persen lainnya, termasuk Eurasia.

Namun, dari segi agama, 31,1 persen beragama Budha, 20 persen mengaku tidak beragama, 18,9 persen Kristen, 15,6 persen Muslim (mayoritas Sunni), 8,8 persen Tao, dan 5 persen Hindu. 

Di antara etnis Melayu, 98,8 persen adalah Muslim. Sedangkan di etnis India, 57,3 persen beragama Hindu, 23,4 persen Muslim, dan 12,6 persen Kristen. Penduduk etnis Tionghoa terdiri dari penganut Buddha (40,4 persen), Kristen (21,6 persen), Tao (11,6 persen), dan 25,7 persen tidak beragama.

Pemerintah Singapura selama ini membatasi ucapan atau tindakan yang dianggap merugikan “keharmonisan beragama.” Pada Februari 2023, Undang-Undang Keamanan Online (Amandemen Lain-Lain) mulai berlaku. Undang-undang ini juga mewajibkan platform media sosial untuk membatasi paparan pengguna terhadap konten online yang dianggap berbahaya, termasuk materi yang memicu ketegangan ras atau agama atau mendorong intoleransi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement