REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap perbuatan Rasulullah Muhammad SAW didasarkan pada petunjuk kebenaran. Tidak ada manusia dengan contoh atau suri teladan yang lebih baik daripada beliau. Kisah berikut menggambarkan betapa hati-hatinya beliau dalam bersikap.
Suatu hari, Rasulullah SAW memimpin seluruh prajurit Muslimin yang baru saja pulang dari Ekspedisi Tabuk. Di antara pasukan terdapat seorang laki-laki yang bernama Abu Rahal al-Ghifari. Rupanya, Abu Rahal mengantuk berat saat sedang menunggangi untanya. Tanpa dia sadari, untanya berjalan terlalu dekat dengan Nabi SAW, yang juga sedang berada di atas unta.
Salah satu kaki Abu Rahal kemudian bersenggolan dengan sisi unta Rasulullah SAW. Tidak hanya itu, kaki salah seorang sahabat yang mulia ini lantas tidak sengaja menginjak kaki beliau.
Seketika, Nabi SAW mengaduh. Dengan tongkatnya, beliau kemudian mencolek kaki Abu Rahal agar sahabatnya itu bangun dari tidur dan tidak lagi menginjaknya.
Betapa terkejutnya Abu Rahal ketika mengetahui kaki Rasulullah SAW terinjak olehnya. Dia pun segera meminta maaf dan menjauhkan untanya dari beliau. Dia kemudian bergerak ke pinggir dan diam sejenak, sehingga posisinya kini berada di bagian akhir arak-arakan pasukan Muslimin.
Hati Abu Rahal dirundung ketakutan. Dia cemas, jangan-jangan nanti nasib buruk menimpanya. Bagaimana mungkin dia menyakiti Rasulullah SAW? Bagaimana jika Nabi SAW dan Allah tidak ridha padanya? Bagaimana kalau nanti turun ayat Alquran yang mengecam perbuatannya tadi? Betapa malunya Abu Rahal bila sampai semua kekhawatiran itu terjadi. Dia pun amat menyesali dirinya yang tadi mengantuk sehingga lalai.
Abu Rahal termasuk yang ikut dalam jihad ke Tabuk sembari membawa sejumlah hewan ternak. Adanya hewan itu berguna sebagai bekal para prajurit, baik untuk dimakan dagingnya maupun diperah susunya. Ketika rombongan pasukan beristirahat sejenak, Abu Rahal memutuskan untuk menggembala kambing-kambingnya di hamparan gurun yang cukup jauh dari tempat mereka singgah.