Senin 11 Nov 2024 16:23 WIB

BMKG Sebut Deteksi Tsunami di Indonesia Belum Lengkap tanpa Sensor Bawah Laut

Secara prinsip Indonesia sudah memiliki sekitar 600 unit sensor pendeteksi gempa.

Rep: Antara/ Red: Qommarria Rostanti
Tsunami (ilustrasi). Pendeteksian tsunami di Indonesia belum spesifik.
Foto: Dok Republika
Tsunami (ilustrasi). Pendeteksian tsunami di Indonesia belum spesifik.

REPUBLIKA.CO.ID, ACEH -- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan bahwa kemampuan Indonesia dalam mendeteksi potensi tsunami secara akurat masih terbatas. Hal ini disebabkan oleh kurangnya sensor bawah laut yang tersebar di wilayah perairan Indonesia.

“Sensor bawah laut ini belum ada di Indonesia, kalau tidak ada di laut maka perhitungannya bisa lambat dan meleset,” kata Kepala BMKG Dwikorita saat ditemui seusai menyampaikan materi dalam forum “Second UNESCO-IOC Global Tsunami Symposium” di Aceh, Senin (11/11/2024).

Baca Juga

Dia menegaskan secara prinsip Indonesia sudah memiliki sekitar 600 unit sensor pendeteksi gempa, yang juga dapat mendeteksi potensi dari tsunami yang tersebar di seluruh wilayah rawan di Tanah Air. Berdasarkan data BMKG, jumlah sensor seismik tersebut meningkat drastis dibandingkan dua dekade yang lalu, dimana Indonesia hanya memiliki sebanyak 20 unit sensor seismik.

Dengan sebaran sensor yang hampir merata di seluruh wilayah ini, kata dia, membuat Indonesia sudah mampu memberikan peringatan dini tsunami kurang dari lima menit setelah gempa terjadi kepada seluruh masyarakat lokal, termasuk di ke sejumlah negara kawasan Asia Pasifik.

Hanya saja sejumlah ahli dalam forum simposium tersebut menilai tantangannya adalah walau jumlah sensor seismik tersebut sudah tersebar di hampir seluruh daerah di Indonesia dengan kualitas alat yang bagus, tapi masih belum cukup untuk mendeteksi seluruh pemicu tsunami yang ada. Dwikorita mengatakan hal ini karena kemampuan ratusan unit sensor tersebut masih terbatas untuk mendeteksi potensi tsunami yang dipicu akibat longsoran bawah laut atau aktivitas gunung api secara lebih spesifik.

“Karena laut kita ini luas, jadi butuh (sensor bawah laut). Melalui forum inilah semua ahli dari berbagai negara bersama-sama mencari solusi untuk mengatasi gap (celah) tersebut. Termasuk meningkatkan kapasitas masyarakat dan pemerintah daerah untuk menghadapi risiko bencana,” ujarnya.

Second UNESCO-IOC Global Tsunami Symposium yang berlangsung pada 10-14 November 2024 di Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, merupakan forum inisiasi antara UNESCO Intergovernmental Oceanographic Commission (IOC) dan Pemerintah Indonesia melalui BMKG untuk memperkuat strategi mitigasi bencana tsunami berbasis teknologi dan peningkatan kapasitas komunitas masyarakat. Simposium ini juga menjadi momentum untuk memperingati 20 tahun peristiwa tsunami Samudera Hindia 2004 yang juga berdampak besar di Aceh. Forum ini dihadiri sekitar 1.000 peserta, termasuk ilmuwan, ahli kebencanaan dari 54 negara seperti Jepang, Amerika Serikat, Spanyol, Italia, India, Bangladesh, dan China, serta komunitas sadar bencana dari Desa Siaga Tsunami di Indonesia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement