REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rasulullah Muhammad SAW merupakan utusan Allah kepada seluruh alam. Beliau memiliki nasab yang teramat baik. Ayahnya bernama 'Abdullah bin 'Abdul Muthalib bin Hasyim bin 'Abdi Manaf bin Qusay. Adapun ibundanya bernama Aminah binti Wahb.
Secara nasab, antara 'Abdullah dan Aminah bertemu pada sosok Qusay. Demikianlah kebiasaan bangsa Arab yang merekam dengan baik silsilah keluarga dan suku.
Muhammad SAW lahir di Makkah pada Tahun Gajah (sekira 570 Masehi). Hanya saja, sang ayah telah lebih dahulu wafat. Betapa gembira 'Abdul Muthalib dengan kelahiran cucu laki-lakinya itu. Dia pun menamakan cucunya itu "Muhammad"--sebuah nama yang belum pernah dikenal bangsa Arab sebelumnya.
Ketika ditanya orang-orang mengapa cucunya itu tidak dinamakan sesuai nama nenek moyang, 'Abdul Muthalib menjawab, "Aku ingin dia menjadi orang yang terpuji (muhammad), bagi Tuhan di langit dan bagi makhluk-Nya di bumi."
Saat Muhammad SAW masih anak-anak, Aminah wafat. Menyusul pula beberapa tahun kemudian sang kakek, 'Abdul Muthalib. Jadilah hingga masa dewasanya, Muhammad SAW diasuh sang paman, Abu Thalib.
Muhammad SAW mendapatkan wahyu dari Allah SWT sesudah menikah dengan Khadijah binti Khuwailid. Artinya, orang tua Rasulullah SAW tidak sempat menyaksikan langsung kenabian atau risalah Islam, agama yang berdasarkan Alquran dan Sunnah Nabi SAW.
Apakah dengan demikian keduanya berstatus kafir? Ustaz Abdul Somad (UAS) dalam bukunya, 37 Masalah Populer, mengingatkan agar berhati-hati dalam membahas orang tua Rasulullah SAW. Sebab, seseorang yang beriman pasti otomatis akan mencintai Nabi SAW, sehingga tidak akan menyakiti perasaannya.
"Menyinggung orang tua Rasulullah SAW berarti menyakiti Rasulullah SAW. Orang yang menyakiti Rasulullah SAW diancam dengan ancaman keras," sebut UAS. Lihat misalnya surah at-Taubah ayat ke-61, artinya, "Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu bagi mereka azab yang pedih."