Rabu 13 Nov 2024 16:19 WIB

Persis Harap Rekomendasi Mudzakarah Perhajian Disinkronkan dengan Fatwa MUI

Kewenangan dua forum kajian haji itu berbeda.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
Ketua Umum PP Persis, Dr KH Jeje Zaenudin saat menjadi pembicara di seminar siasah bagi para dai dengan tema “Penguatan Nilai-nilai Siasah Ala Minhajin Nubuwwah (Etika Propetik dalam Berpolitik)”.
Foto: dok. Republika
Ketua Umum PP Persis, Dr KH Jeje Zaenudin saat menjadi pembicara di seminar siasah bagi para dai dengan tema “Penguatan Nilai-nilai Siasah Ala Minhajin Nubuwwah (Etika Propetik dalam Berpolitik)”.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis), KH Jeje Zaenudin berharap, hasil kesimpulan dan rekomendasi di Mudzakarah Perhajian Indonesia 2024 disinkronkan dengan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI Pusat yang digelar di Bangka Belitung pada Mei 2024 lalu. Pasalnya, dua forum ulama tersebut menghasilkan keputusan yang berbeda terkait hukum memanfaatkan hasil investasi setoran awal biaya haji (BPIH). 

“Saya berharap agar keputusan Mudzakarah Perhajian tahun 2024 yang diselenggarakan oleh Kemenag di Bandung, dapat disinkronisasi dan mendapatkan titik temu dengan hasil ijtima ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia di Bangka,” ujar Kiai Jeje dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Rabu (13/11/2024). 

Baca Juga

Kiai Jeje mengatakan, sangat penting untuk menyikapi hal ini, karena ada masalah hukum yang berbeda antara keputusan hasil Mudzakarah Perhajian Kemenag yang digelar di Bandung pada 7-9 November 2024 dengan hasil Ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia di Bangka Belitung. 

Perbedaanya yaitu keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI menyatakan pemanfaatan hasil investasi setoran awal BIPIH calon jamaah haji untuk membiayai penyelenggaraan haji jamaah lain adalah haram. Sementara kesimpulan hasil mudzakarah kemenag menyatakan mubah atau boleh.

Perbedaan lainnya terkait kebolehan dan sahnya penyembelihan hewan hadyu atau dam haji tamattu' di luar wilayah Makkah berbeda dengan keputusan fatwa MUI yang menyatakan tidak boleh dan tidak sah. 

"Perbedaan yang diametral ini tentunya akan membingungkan umat, terutama para jamaah haji. Maka kami meminta agar perbedaan kesimpulan hukum ini dapat dibahas bersama untuk disinkronisasi dan mencari titik temu dengan mengurai titik perbedaan pandangannya," ucap Kiai Jeje.

Sebab, lanjut dia, kewenangan dua forum kajian itu berbeda. Forum Ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI merupakan forum pengkajian untuk mengeluarkan berbagai fatwa hukum atas berbagai masalah yang ditanyakan oleh umat maupun pemerintah.

Adapun forum Mudzakarah Perhajian lebih tepatnya sebagai forum pengkajian berbagai persoalan haji, baik aspek regulasi maupun problem pelaksanaan di lapangan untuk menjadi rekomendasi kebijakan dalam memperbaiki kualitas pelayanan penyelenggaraan haji. 

“Oleh sebab itu, memang seharusnya menyamakan persepsi dan melakukan sinkronisasi, agar tidak ada yang melampaui kewenangan dan tupoksinya,” kata dia.

Kiai Jeje menilai, forum Mudzakarah Perhajian meskipun menghadirkan narasumber ulama ahli fikih dan hukum Islam, sejatinya tidak dalam konteks untuk mengeluarkan fatwa atau keputusan hukum, tetapi lebih kepada rekomendasi teknis tata kelola penyelenggaraan dalam mengatasi berbagai problem di lapangan. Hal itulah, ia kira yang dipahami oleh mayoritas para narasumber dan para peserta.

“Kewenangan mengeluarkan fatwa hukum seharusnya tetap pada lembaga fatwa yang lebih lengkap dan lebih luas pesertanya, seperti pada Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI,” jelas Kiai Jeje.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement