Kamis 14 Nov 2024 17:59 WIB

PLN Butuh 235 Miliar Dolar AS Bangun 75 GW Pembangkit EBT Hingga 2040

PLN melakukan segala cara untuk pembiayaan demi transisi energi.

Rep: Frederikus Bata/ Red: Friska Yolandha
Peresmian Indonesia Pavilion di COP29, Baku, Azerbaijan dihadiri CEO PLN, Darmawan Prasodjo, CEO Pertamina New & Renewable Energy, John Anis.
Foto: Edwin Putranto
Peresmian Indonesia Pavilion di COP29, Baku, Azerbaijan dihadiri CEO PLN, Darmawan Prasodjo, CEO Pertamina New & Renewable Energy, John Anis.

REPUBLIKA.CO.ID, BAKU -- Indonesia sedang menghadapi tantangan perihal transisi energi. Tantangannya tidak hanya dari sisi teknis, tapi juga pembiayaan. Namun demikian, sejumlah inisiatif energi terus digalakkan.

Berdasarkan draft terbaru pengembangan energi terbarukan (EBT) di Indonesia, hingga 2040 PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN menargetkan pembangunan pembangkit listrik tambahan sekitar 100 gigawatt.

Baca Juga

Menurut Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo, sebanyak 75 persen di antaranya, EBT. Jumlah investasi yang dibutuhkan menyentuh angka 235 miliar dolar Amerika Serikat (AS).

Pertanyaannya, bagaimana PLN membiayai hal itu sambil tetap menjaga tiga isu besar yakni keberlanjutan, keterjangkauan, dan keandalan?

Direktur Keuangan PLN, Sinthya Roesly mengelaborasi upaya perusahaan untuk terus relevan dengan upaya meningkatkan produksi energi terbarukan. Pertama dia berbicara dalam konteks pembiayaan. Ia bersyukur perusahaannya memiliki banyak mitra pendukung.

"Jadi kami sangat menghargai itu, baru saja kami menandatangani beberapa nota kesepahaman (MoU)," kata Sinthya di Paviliun Indonesia pada Conference of the Parties (COP) 29  di Baku, Azerbaijan, Rabu (13/11/2024).

Ia mencontohkan hari ini, PLN menandatangani MoU dengan nilai sekitar 1,2 miliar dolar AS. Ini untuk membiayai beberapa proyek seperti sistem transmisi di Sulawesi dan hydropump storage di Sumatera dan Jawa. Ini langkah penting dalam kaitan dengan transisi energi.

Ia meneruskan, jika memangkas hanya untuk 10 tahun ke depan, PLN membutuhkan 110 miliar dolar AS. Tahun lalu BUMN ini memperoleh pendapatan sekitar 32 miliar dolar AS. Tentu masih banyak dana yang dibutuhkan.

"Kami memiliki mitra bilateral seperti KfW (Jerman), AFD (Prancis), JICA (Jepang), dan semua yang telah mendukung PLN selama ini. Juga lembaga multilateral seperti Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB)," tutur Sinthya.

Ia juga menyebut beberapa pihak lainnya untuk memaksimalkan segara cara. PLN harus menyerap permintaan dan mengoptimalkan sisi komersil, baik dalam bentuk proyek PLN, juga IPP atau kemitraan swasta. 

Pada kesempatan serupa, Sinthya turut menyinggung aspek Environmental, Social, and Governance (ESG) yang sudah menjadi praktik nyata di PLN. Dalam empat tahun terakhir PLN meningkatkan skor ESG, dan memastikan para pinjaman yakin akan apa yang dilakukan perusahan tersebut.  

"Jadi, kami tidak hanya telah menyelesaikan perencanaan kami, rencana kami untuk pengembangan infrastruktur, tetapi juga secara internal kami sedang membangun kapasitas organisasi untuk memiliki pola pikir yang tepat tentang ESG ini," ujar Direktur Keuangan PLN.

Ia menegaskan, pihaknya memahami para investor dan pemberi pinjaman peduli tentang hal itu. Sebuah perencanaan kredibel untuk melakukan dekarbonisasi sangat penting.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement