Kamis 14 Nov 2024 19:56 WIB

Ulama yang Diberi Tugas Nabi Musa

Nabi Musa memberikan tugas kepada seorang ulama.

Gunung Sinai
Foto: blogspot.com
Gunung Sinai

REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH -- Di Surat Al A'raf ayat 175 Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk membacakan kisah seorang ulama Yahudi yang bernama Bal'am bin Ba'ura yang diberi tugas oleh Nabi Musa untuk menyebarkan agama Yahudi ke daerah Madyan. Tetapi, ia melepaskan diri dari tugas tersebut dan kemudian diikuti setan sehingga menjadi sesat.

Bal'am bin Ba'ura mendapat sambutan sangat baik dari raja Madyan dengan menyediakan tempat tinggal yang baik, lengkap dengan perabot rumah tangga dan seorang pembantu, dan mempersilahkan istirahat beberapa lama sebelum melaksanakan tugas dari Nabi Musa.

Baca Juga

Dengan kehidupan yang mewah ini dia berubah pendirian dengan mengikuti agama raja Madyan, dan tidak melaksanakan tugas dari Nabi Musa. Di sini terjadi kerjasama antara ulama dan umara yang tidak dapat dibenarkan.

Pada ayat berikutnya yaitu ayat 176 Allah menjelaskan bahwa orang yang telah dianugerahi pengetahuan agama dan menguasai ayat-ayat Allah dalam kitab suci, dapat saja hidup sejahtera dan bahagia, tetapi jika berubah pendirian dengan mengutamakan kehidupan yang mewah dan meninggalkan tugas agama, maka berarti dia telah memperturutkan hawa nafsu.

Orang itu seperti penjaga rumah, disuruh apa saja selalu menjulurkan lidah dan mengikuti dengan setia segala perintah tuannya. Ulama yang demikian bukan bekerjasama dengan umara dalam posisi yang sama derajatnya, untuk melaksanakan tugas yang sinergis, tetapi seperti hamba dan tuannya yang menentukan segala-galanya yang harus diikuti dengan setia oleh hambanya.

Kerja sama ini adalah tidak baik, karena umara hanya mempergunakan pengaruh dan fasilitas yang dimilikinya untuk memperturutkan kehendak hawa nafsunya, bukan untuk kebaikan masyarakat dan Negara.

Dalam sejarah Islam juga pernah terjadi kerjasama ulama umara yang tidak baik, yaitu ketika Sultan al-Malik al-Zhahir yang berkuasa di pertengahan abad VII Hijriyah meminta seluruh ulama Syam baik dari Suriah, Libanon, Yordania sampai Palestina, untuk datang membahas pembiayaan perang melawan pasukan Tartar yang telah menghancurkan Bagdad.

Sultan AL Zhahir meminta kepada para ulama ini untuk membuat fatwa yang membolehkan negara mengambil harta kekayaan rakyat untuk pembiayaan perang yang tidak sedikit. Para ulama ini dengan cepat berhasil merumuskan fatwa tersebut, yang ditulis dan ditandatangani para ulama Syam.

Tetapi Sultan al-Zhahir tidak puas, karena dari para ulama yang hadir tidak terlihat Imam Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Sharaf al-Nawawi, yang lahir di Nawa dekat kota Damaskus pada tahun 631 H (1234 M). Imam Nawawi yang sangat terkenal memang tidak datang, sehingga meragukan keterwakilan seluruh ulama.

Maka Sultan al-Zhahir bertanya, Adakah ulama lain yang tidak hadir di sini? Maka salah seorang ulama menjawab, Ada, Muhyiddin al-Nawawi yang tidak terlihat di sini.

Sultan kemudian mengutus bawahannya untuk mengundang Imam Nawawi ke istananya di Damaskus. Di balairung kerajaan, setelah mengucapkan selamat datang dan terima kasihnya atas kedatangan Imam Nawawi, Sultan kemudian mengemukakan bahwa telah disepakati fatwa dari sejumlah ulama yang menyetujui pembiayaan perang dengan harta dari rakyat.

Sultan kemudian meminta dukungan atas fatwa tersebut dari Imam Nawawi, agar lebih kuat lagi. Imam Nawawi yang waktu itu berusia 40 tahun menjawab, "Sultan yang mulia, kami mohon maaf, apabila kami tidak dapat memenuhi permintaan ini." Sultan sangat terkejut dengan jawaban itu, kemudian bertanya, Mengapa Anda berkata demikian?

Sultan yang merasa sudah bersusah payah menyambut Imam Nawawi di tangga bawah istananya itu betul-betul tidak menyangka jawaban Imam Nawawi demikian.

Imam Nawawi menjawab, Mohon maaf  jika Sultan kurang berkenan dengan penjelasan saya ini.   Saya mendengar Tuanku memiliki seribu orang hamba sahaya yang masing-masing mempunyai beberapa kantong emas. Andaikata Tuanku mengambil perhiasan emas dari dua ratus orang saja dari hamba-hamba sahaya wanita milik Tuanku untuk keperluan perang, maka saya bersedia memberi fatwa untuk membenarkan Tuanku mengambil harta rakyat sebagai tambahan jika ada kekurangan dari keuangan Negara.

Sultan terdiam mendengar penjelasan Imam Nawawi, yang intinya adalah lakukan dulu pembiayaan dari negara dan dari kekayaan istana sebelum menguras harta rakyat. Bukan harta rakyat dulu yang dikuras dan sama sekali tidak menyentuh harta milik istana.

Tetapi kritik ini tentu sangat menyakitkan hati Sultan. Maka Sultan Malik al-Zhahir langsung marah dan mengusir Imam Nawawi supaya keluar dari wilayah Damaskus.

Imam Nawawi sudah menduga hal ini, maka dengan tenang ia keluar dan bersedia menerima dan melaksanakan perintah Sultan. Kemudian Imam Nawawi pulang dan memindahkan pesantren pengajiannya ke luar wilayah Damaskus, yaitu ke Nawa tempat kelahirannya.

Sepenggal kisah Imam Nawawi ini menjadi kritik ulama atas kekuasaan umara. Umara perlu  diberi tahu bahwa sebagai manusia ia bisa salah, meskipun ia memiliki otoritas yang wajib dipatuhi, tetapi otoritas ini juga tidak boleh disalahgunakan.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement