REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kaum muslimin jamaah sholat Jumat yang berbahagia. Kami selaku khatib memberikan pesan kepada diri kami dan para jamaah untuk senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT dengan melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya.
Kaum Muslimin yang berbahagia salah satu indikasi keberhasilan sebuah negara bangsa adalah jika kehidupan keluarga anggota masyarakat itu baik dan maslahah. Bangunan bangsa dan negara harus dimulai dari bangunan keluarga, jika bangunan keluarga baik, Insya Allah masyarakat akan baik. Jika masyarakat baik, Insya Allah bangsa dan negara akan baik. Maka keluarga maslahah adalah modal utama dalam membangun bangsa.
Dalam Alquran, Allah mengingatkan kita semua akan pentingnya "Wiqayatul Ahli" (penjagaan/ pemeliharaan keluarga).
Muhammad Nawawi bin Umar Al-Jawi Al-Bantani dalam tafsir Marah Labid/ Al-Munir menyatakan bahwa kata ahli dalam ayat di atas maknanya adalah suami atau istri dan anak-anak. Sementara pelaksanaan dari wiqayatul ahli yaitu dengan cara atta’lim, at-tarbiyah, dan at-ta’dib.
Maka dalam bangunan keluarga Nabi Muhammad SAW adalah sebagai muallim, murabbi, dan muaddib. Kata ta’dib dibutuhkan karena manusia tidak hanya butuh pembelajaran atau transfer ilmu tetapi membutuhkan adab-adab yang baik.
Rasulullah SAW menyatakan:
اَدَّبَنِي رَىِّي فَاَ حْسَنَ تَاْدِِيىِي
Artinya, "Tuhanku telah mendidikku dan jadilah pendidikanku yang terbaik (dengan adab)."
Lalu seperti apa bangunan keluarga ala atau model keluarga Rasulullah SAW?
Kaum Muslimin rahimakumullah. Model bangunan keluarga ala Nabi SAW, antara lain sebagai berikut.
Pertama, pendidikan praktikum ibadah kepada keluarga.
Nabi Muhammad SAW selalu memberi contoh atau praktik tuntunan langsung dan mendidik keluarga baik kepada istrinya maupun kepada cucunya terutama dalam hal ibadah. Hal tersebut terlihat dari bagaimana Nabi Muhammad SAW membangunkan istri-istri beliau untuk sholat malam (witir) dan iktikaf (pada sepuluh hari terakhir Ramadhan).
Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata:
كانَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يُصَلِّي صَلَاتَهُ مِنَ اللَّيْلِ كُلَّهَا وأَنَا مُعْتَرِضَةٌ بينَهُ وبيْنَ القِبْلَةِ، فَإِذَا أرَادَ أنْ يُوتِرَ أيْقَظَنِي فأوْتَرْتُ وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ: فَإذَا بَقِيَ الوِتْرَ، قَالَ: ((قُوْمِي فَأوْتِرِي يَا عِائِشَةُ))
Artinya, "Nabi SAW biasa melakukan sholat malam dengan posisi Aisyah berbaring (melintang) di hadapan beliau. Maka, ketika tersisa witir, beliau membangunkannya, lalu Aisyah melakukan witir. (HR Muslim).
Dalam riwayat Muslim yang lain disebutkan, “Ketika tersisa witir, beliau berkata, 'Bangunlah dan kerjakanlah sholat witir, wahai Aisyah'."
Dalam riwayat yang lainnya, Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata, “Apabila Nabi SAW memasuki sepuluh akhir (dari bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarung beliau, menghidupkan malamnya dengan beribadah dan membangunkan keluarga beliau." (HR Bukhari).
Demikian pula Nabi Muhammad SAW mengajak cucunya untuk beribadah bersama Nabi sebagaimana dalam banyak riwayat yang menceritakan bagaimana kedekatan beliau dengan cucu-cucunya. Saat sholat berjamaah di masjid, Rasulullah menggendong salah satu cucu perempuannya yang bernama Umamah binti Zainab. Ketika beliau sujud, anak tersebut diletakkan di bawah. Namun ketika berdiri, digendong lagi.
Di kesempatan lain Rasulullah mengendong Hasan dan Husain saat sholat berjamaah. Hingga sampai sujud, beliau melamakan sujudnya. Karena penasaran para sahabat lalu bertanya apakah Rasulullah mendapatkan wahyu hingga sujudnya menjadi lama. Di waktu senggang Rasulullah menyempatkan diri menemui cucu-cucunya untuk bermain dan mendoakan mereka dengan kebaikan. Pernah suatu ketika Rasulullah sengaja menemui cucunya selepas berpergian. Lalu beliau memboncengnya dalam suatu kendaraan. Pola interaksi juga dan pendidikan yang baik menjadikan Hasan dan Husain tumbuh menjadi pemimpin para ahli surga.
Kedua, pendidikan yang lemah lembut dan romantis.
Di antara yang menunjukkan kelemahlembutan Nabi Muhammad SAW dalam mendidik istri-istri beliau sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha, "Nabi SAW memegang tanganku, kemudian berisyarat menunjuk ke bulan, seraya berkata, 'Wahai Aisyah, mintalah perlindungan kepada Allah dari keburukan ini. Sesungguhnya ini adalah kejahatan malam jika telah gelap gulita'." (HR Ahmad).
Sebelum mengajari Aisyah, Nabi SAW memegang tangannya yang menunjukkan betapa baik dan lemah lembutnya Nabi SAW dalam mendidik istri beliau. Begitu pula tatkala bersama Shafiyah, beliau mengusap air mata Shafiyah dengan tangannya saat Shafiyah menangis.
Dari Anas Bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, "Suatu ketika, Shafiyah bersama Rasulullah SAW dalam perjalanan. Hari itu adalah gilirannya (bersama Nabi SAW). Akan tetapi, Shafiyah sangat lambat sekali jalannya. Lantas, Rasulullah SAW menghadap kepadanya, sedangkan ia menangis dan berkata, 'Engkau membawaku di atas unta yang lamban.’ Kemudian Rasulullah SAW menghapus air mata Shafiyah dengan kedua tangannya." (HR An-Nasa’i)
Selain dua riwayat tersebut, bentuk romantisnya Nabi SAW adalah dengan memberikan panggilan cinta kepada istri beliau, meletakkan kaki istrinya di atas lutut beliau hingga naik (ke unta), mengantar istri beliau, mencium istri beliau, tidur di pangkuan istri, dan yang lainnya.