Jumat 15 Nov 2024 14:37 WIB

Sri Mulyani Bakal Naikkan Tarif PPN, Ekonom Usul Lebih Baik Tarik Pajak Orang Kaya

Kenaikan tarif PPN di tengah kondisi perekonomian saat ini bukan menjadi solusi.

Petugas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melayani wajib pajak.
Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Petugas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melayani wajib pajak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat perluasan objek pajak lebih efektif untuk meningkatkan pendapatan negara daripada kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen.  

“Kalau mau mendorong rasio pajak, perluas objek pajak, bukan utak-atik tarif,” kata Bhima di Jakarta, Jumat (15/11/2024).

Baca Juga

Menurutnya, pemerintah bisa mulai membuka pembahasan pajak kekayaan (wealth tax) dengan potensi Rp 86 triliun per tahun. Pajak anomali keuntungan komoditas (windfall profit tax) dan penerapan pajak karbon pun juga bisa menjadi alternatif dari kebijakan PPN 12 persen.

Sebab, dia meyakini kenaikan tarif PPN di tengah kondisi perekonomian saat ini bukan menjadi solusi yang tepat untuk mendongkrak pendapatan negara.

Kenaikan tarif PPN 12 persen bila diakumulasikan dalam empat tahun terakhir, kenaikannya terhitung sebesar 20 persen. “Dari 10 persen ke 11 persen, kemudian ke 12 persen, total 20 persen kenaikannya,” jelasnya.

Dengan perhitungan itu, maka kenaikan tarif PPN terbilang lebih tinggi dibandingkan dengan akumulasi kenaikan inflasi tahunan. Sementara efek kenaikan PPN 12 persen bisa berdampak langsung terhadap inflasi umum, yang akhirnya berpotensi meningkatkan harga barang.

Terlebih, kelas menengah yang menjadi kelompok utama penyumbang konsumsi rumah tangga telah menghadapi berbagai tekanan, seperti kenaikan harga pangan dan sulitnya mencari pekerjaan.

Bila ada penerapan PPN 12 persen, dikhawatirkan kemampuan belanja masyarakat bisa menurun. Penjualan produk sekunder seperti elektronik, kendaraan bermotor, hingga kosmetik atau perawatan tubuh berpotensi melambat, mengingat kelas menengah yang menjadi sasaran utama dari PPN barang-barang di kelompok ini.

Efek lainnya juga mengarah kepada pelaku usaha. Penyesuaian harga akibat naiknya tarif PPN bisa berdampak terhadap omzet mereka, yang kemudian berpengaruh pada penyesuaian kapasitas produksi hingga penurunan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan. Bila kondisi ini terus berlanjut, potensi yang mungkin terjadi adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor.

“Pemerintah harus memikirkan kembali rencana kenaikan tarif PPN 12 persen, karena akan mengancam pertumbuhan ekonomi yang disumbang dari konsumsi rumah tangga,” ujar Bhima.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 bakal tetap dijalankan sesuai mandat Undang-Undang (UU).

Salah satu pertimbangannya adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang harus dijaga kesehatannya, dan pada saat yang sama, juga mampu berfungsi merespons berbagai krisis.

Namun, dalam implementasinya nanti, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan berhati-hati dan berupaya memberikan penjelasan yang baik kepada masyarakat.

"Sudah ada UU-nya. Kami perlu menyiapkan agar itu (PPN 12 persen) bisa dijalankan tapi dengan penjelasan yang baik," tuturnya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement