REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Muhammad Imaduddin Abdulrahim atau yang akrab dengan panggilan Bang Imad merupakan aktivis yang legendaris. Tokoh pergerakan mahasiswa dari Institut Teknologi Bandung (ITB) ini sejak masih muda sudah berkiprah di dunia dakwah kampus.
Ceramah-ceramahnya selalu lugas, memperjuangkan amar ma'ruf nahi munkar. Padahal, menurut Yudi Latif dalam disertasinya, "The Muslim Intelligentsia of Indonesia: A Genealogy of lts Emergence in the 20th Century" (2004: 349), Orde Baru sedang kuat-kuatnya saat itu dan cenderung antikritik.
Pemilihan Umum (Pemilu) 1971, misalnya, membuktikan nirdemokratisnya penguasa. Terhadap fenomena ini, Bang Imad di tiap forum publik tidak ragu menyuarakan kritik keras. Karena itu, dia sampai tidak bisa berceramah di kampus-kampus pada 1986-1988.
Ke manapun dia pergi, selalu dibuntuti mata-mata. Ada dua kasus yang cukup fenomenal. Pertama, saat dirinya menjadi penceramah Maulid Nabi di Masjid al-Azhar (Jakarta) 1971. Bang Imad tahu betul ada mata-mata pemerintah yang menyelinap di antara hadirin.
Panitia juga telah mengingatkannya lantaran khawatir keselamatan sang narasumber. Namun, tak terbersit rasa takut dalam diri Bang Imad. Setelah mengutip ayat Alquran, dia tegas berceramah bahwa umat Islam Jangan pernah takut kepada selain Allah, apalagi kepada intel.Diserukannya pula agar siapa pun intel yang sedang menyamar mencatat setiap perkataannya.
Kasus kedua terjadi di UGM Yogyakarta. Di hadapan ratusan hadirin, Bang Imad menyinggung sejarah Firaun. Dia menyebut pula, sebelum mati penguasa Mesir Kuno itu mendirikan istana di atas bakal kuburannya. Konteks ceramahnya saat itu, Presiden Soeharto memang sudah membangun kompleks Mausoleum Astana Giribangun di Karanganyar, Jawa Tengah. Walaupun Bang Imad tidak menyebut Soeharto atau presiden, terasa sindirannya kepada penguasa. Apalagi, ditegaskannya bahwa siapa pun pemimpin yang melakukan hal itu sehaluan dengan Firaun.