REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – Departemen Sosiologi Universitas Gadjah Mada menggelar kuliah umum bertemakan Kaum Muda dan Fenomena Ekstremisme Kekerasan di Era Digital di Ruang Seminar Timur, Gedung Fisipol UGM, Rabu (13/11/2024). Kuliah umum diisi oleh Noor Huda Ismail, pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, serta pemutaran film 'Road to Resilience.'
Kuliah umum dibuka oleh Muhammad Najib Azca, Dosen Sosiologi UGM, sekaligus mengenalkan latar belakang yang juga seorang penulis yang dekat dengan isu pemuda dan radikalisme. Dalam paparan materinya, Huda memaparkan bagaimana pendekatan ilmu kepemudaan, ilmu komunikasi, dan bagaimana membentuk anak muda untuk memiliki tujuan yang baik. Ia juga memaparkan media baru di era digital dapat menjadi kesempatan untuk membangun jaringan terorisme.
"Justru anak muda yang malah banyak ikut terjaring komunitas seperti itu, karena kan masanya mencari jati diri, tahu-tahu terbawa organisasi seperti itu,” jelas Huda.
Ia memaparkan faktor lain yang menyebabkan seseorang masuk dalam aksi terorisme yaitu sebuah kebutuhan. Keterlibatannya juga membutuhkan proses yang panjang dan usaha. "Terlibat aksi kekerasan ibarat memakai high heels, di mana pain is beauty. Dalam otoritas juga dia melakukan kekerasan karena ada perintah dan ada sistem," kata Huda.
Alumni Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki ini juga bercerita bagaimana ia terjun dan menyelami fenomena ekstrem. Bermula dari profesinya menjadi wartawan yang kemudian membawanya kepada suatu kasus yang menjadi titik balik hidupnya yaitu Bom Bali.
Saat itu, seorang polisi yang menjadi narasumbernya membagikan gambar siapa saja yang berada di balik peristiwa tersebut. Ternyata salah satunya adalah eks teman sekamar Huda saat nyantri di Ngruki.
"Di situlah titik balik dalam hidup saya. Saya pun bertanya-tanya kenapa orang yang saya kenal banget, yang baca Alquran oke, ramah, kok kemudian menjadi terlibat (peristiwa) kayak gini. Di situlah saya tertarik. Daripada saya berteori saya memutuskan untuk bertemu langsung dengan siapa saja yang pernah terlibat dalam aksi terorisme," jelasnya.
Sejalan dengan materi yang ia bawakan, film berjudul 'Road to Resilience' juga menceritakan seorang perantau, Febri Ramdani, yang pernah terafiliasi dengan ISIS dan bagaimana perjuangan hidupnya setelah kembali dari Suriah. Keberangkatannya ke Suriah didorong keinginannya untuk bertemu ibunya yang terlebih dahulu hijrah ke sana. Kisah Febri dan keputusannya mencari ibunya ke Suriah hingga bagaimana ia menjalani hidup sebagai eks simpatisan ISIS diangkat oleh Ridho Dwi Ristiyanto, sang sutradara film.
Ridho menceritakan bagaimana proses produksi yang ia lakukan bersama timnya. Menurutnya, kisah Febri menjadi menarik karena ia menemukan masalah yang harus diidentifikasi yaitu mengenai pemulangan mantan ISIS dan perlu melewati proses rehabilitasi.
"Film ini diharapkan membuat teman-teman seperti Febri, deportan, bahkan keluarganya memiliki harapan. Film ini juga diharapkan dapat memberikan perspektif lain kepada orang lain atau teman-teman di sini yang belum bertemu teroris biar tahu," ujarnya.
Film yang ditayangkan mendapatkan apresiasi oleh salah satu peserta yang hadir, Ahmad. "Saya kira fokus film tadi sangat rapi. Kesan saya plot twist-nya di akhir seperti film keluarga,” ujarnya. Kuliah umum ditutup dengan diskusi tanya jawab dan pesan-pesan oleh Huda bagi para mahasiswa di era digital.