REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Prof Dr Fuat Sezgin merupakan sejarawan Muslim kontemporer. Namanya tidak hanya dikenal di ranah akademis. Sampai akhir hayatnya, peraih King Faisal International Prize 1978 itu berperan menjembatani saling pengertian antara Islam dan peradaban-peradaban lainnya.
Seperti dilansir dari situs Islamic World Academy of Sciences, pria yang lahir di Bitlis, Turki, itu awalnya menekuni jurusan teknik untuk mendapatkan gelar insinyur. Suatu momentum mengubah jalan hidupnya.
Di kampus, dia tertarik menghadiri kuliah umum yang mengundang orientalis Jerman, Hellmut Ritter (1892-1971). Setelah menyimak Ritter, Sezgin menjadi tertarik pada sejarah peradaban Islam. Bahkan, dia kemudian berdiskusi langsung dengan Ritter.
Tekadnya sudah bulat. Sezgin lantas mendaftar pada Institut Studi Ketimuran, Universitas Istanbul, padahal tenggat waktunya mendekati akhir.
Sehari-hari, dia belajar dengan tekun. Belakangan, Ritter sendiri menjadi pembimbing disertasinya. Pada saat itu, dia mulai konsisten mempelajari penguasaan bahasa Arab.
Pada faktanya, kemampuan berbahasa menjadi keunggulannya. Sezgin sepanjang karier profesionalnya dikenal sebagai ilmuwan yang poliglot. Dia fasih bertutur dalam 25 bahasa asing, termasuk Latin, Ibrani, Syriac, dan Jerman.
Melalui disetrasinya, Sezgin berhasil mempertahankan argumentasi bahwa Imam Bukhari meriwayatkan hadits tidak hanya berdasarkan sumber-sumber lisan, tetapi juga naskah-naskah tertulis, antara lain, berasal dari abad ketujuh.
Disertasinya itu berjudul “Mashadir al-Bukhari.” Karya ilmiah ini dinilai berhasil menangkis anggapan para orientalis Barat yang berdalih periwayatan hadits semata-mata mengandalkan sumber lisan.