REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Bahasa Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) bersama Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Paris/Kantor Delegasi Tetap RI untuk UNESCO, Prancis, menggelar acara bertajuk "100 Tahun Sastrawan Revolusioner Indonesia Ali Akbar Navis (AA Navis)." Kegiatan ini sekaligus membuktikan bahwa sastra Indonesia semakin mendunia.
"Melalui acara ini, kami berharap bahwa karya-karya Navis dapat dikenal lebih luas di dunia internasional dan menginspirasi generasi mendatang. Peringatan ini bukan hanya sekadar mengenang, tetapi juga upaya untuk menduniakan sastra Indonesia agar terus relevan di kancah global," ujar Kepala Badan Bahasa E Aminudin Aziz dalam keterangan resmi di Jakarta, Ahad (17/11/2024).
Acara yang berlangsung di Kantor Pusat UNESCO di Paris, Prancis, pada 14-15 November 2024 itu dihadiri para peserta dari berbagai kalangan. Mereka antara lain adalah pecinta sastra, akademisi, pelajar, diaspora Indonesia, serta delegasi tetap UNESCO dari banyak negara.
Kegiatan ini juga menghadirkan gelar wicara yang dipandu oleh Romain Bertrand, seorang sejarawan dan pakar Asia Tenggara dari Universitas Science Po, Paris. Diskusi ini membahas tentang AA Navis sebagai seorang figur penting yang membawa pengaruh besar dalam sastra Indonesia modern.
"Navis dengan tajam menyingkap dinamika kehidupan desa dan menyuarakan isu-isu sosial yang relevan hingga kini," ujar dia.
Pembicara dalam gelar wicara tersebut adalah sejarawan Hilmar Farid dan penulis Ayu Utami. Keduanya turut menyampaikan pandangan mengenai pergeseran perspektif dalam sastra Indonesia, yakni dari tema perdesaan ke perkotaan.
Mereka menyoroti sastra Indonesia yang kini lebih banyak mengeksplorasi kehidupan kaum urban dengan tema-tema terkait perubahan sosial yang lebih luas. Karya-karya yang ada juga cenderung mencerminkan keberagaman suara dan perspektif.
"Ada pergeseran cerita tentang kehidupan desa ke kehidupan kota yang lebih kompleks, hal itu menunjukkan bagaimana sastra kita berkembang seiring dengan perubahan masyarakat," kata Ayu Utami.
Hilmar Farid menyoroti secara khusus tren sastra Indonesia yang kini semakin terhubung dengan isu-isu global. Di samping itu, ia juga menyebut adanya peningkatan keragaman latar belakang penulis dan semakin eratnya hubungan antarseniman di negara-negara selatan (global south).
"Sastra Indonesia kini tidak hanya berbicara pada lingkup nasional, tetapi juga menjadi bagian dari percakapan global, utamanya melalui isu-isu yang relevan dengan masyarakat di negara-negara bagian selatan," ujar Hilmar.
Menurut Hilmar, AA Navis yang masyhur sebagai pengarang "Robohnya Surau Kami" berhasil menjadi seorang penulis yang berani mengambil isu-isu sulit di tengah masyarakat pada era 1950-an. Tidak hanya berani, sastrawan asal Sumatra Barat itu juga memberikan kontribusi besar dalam membantu masyarakat memahami budaya Minangkabau secara lebih baik.
"Karya-karyanya bukan sekadar tulisan, melainkan cerminan dari pemikiran mendalam dan keberanian untuk menghadapi berbagai isu yang mungkin sulit diterima oleh masyarakat pada zamannya," ucap Hilmar.
"Ia mampu menyuarakan suara-suara dari akar rumput dan menunjukkan bagaimana kehidupan lokal bisa menjadi refleksi dari isu-isu yang lebih besar," sambung dia.