REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Terpilih Amerika Serikat (AS), Donald John Trump beserta timnya disebut akan mempelajari kemungkinan memperkarakan pejabat militer AS yang terlibat dalam penarikan pasukan dari Afghanistan pada 2021. Dia membuka peluang membawa masalah itu ke mahkamah militer.
Menurut media NBC News pada Ahad (17/11/2024), mengutip sumber pejabat AS, tim Donald Trump dilaporkan akan membentuk sebuah komisi untuk menyelidiki perkara penarikan pasukan tersebut. Laporan tersebut menyatakan, pejabat AS telah menghimpun informasi mengenai siapa saja yang terlibat secara langsung dalam pengambilan keputusan militer.
Baca: Dua KRI TNI AL Laksanakan Farewell Pass kepada Kapal Perang Australia
Tim juga akan menganalisis bagaimana implementasinya di lapangan, serta menentukan apakah pejabat militer dapat didakwa atas tuduhan berat, seperti pengkhianatan. Meski demikian, masih belum jelas apakah tindakan para pejabat militer dapat disebut sebagai "pengkhianatan" karena mereka hanya mengikuti perintah Presiden AS Joe Biden.
NBC News juga mewartakan, Trump mengutuk penarikan mundur pasukan tersebut dan menyebutnya sebagai "hari yang paling memalukan sepanjang sejarah negara kita". Kelompok Taliban, yang hingga kini masih dijatuhi sanksi internasional, berkuasa di Afghanistan sejak Agustus 2021, usai merebut kekuasaan dari pemerintahan Hamid Karzai.
Baca: Latma Perdana Antara TNI AL dan Russian Navy Resmi Dimulai
Taliban bisa menguasai Afghanistan usai pasukan militer AS dan NATO ditarik mundur. Penarikan pasukan tersebut menandai berakhirnya keberadaan militer AS dan NATO di Afghanistan selama hampir 20 tahun.
Dilaporkan Sputnik-OANA, menyusul berkuasanya kembali Taliban, sejumlah negara dan organisasi internasional pun memutuskan hubungan dan menghentikan bantuan kemanusiaan kepada Kabul.
Rusia tunggu Trump
Menteri Luar Negeri (Menlu) Rusia Sergey Lavrov mengatakan, Moskow akan menunggu usulan konkret Presiden AS Terpilih, Donald Trump, yang telah berjanji untuk "bekerja sangat keras" menyelesaikan konflik di Timur Tengah dan Ukraina. Salah satu janji Trump adalah menghentikan perang antara Rusia versus Ukraina.
"Kami akan menunggu usulan mereka... kami selalu tekankan bahwa politisi yang mengaku mendukung perdamaian daripada perang pantas mendapatkan perhatian. Tetapi kami tidak tahu apa yang akan mereka usulkan," kata Lavrov dilaporkan Anadolu. Dia mengatakan hal tersebut dalam konferensi pers setelah menghadiri Forum Internasional Sir Bani Yas ke-15 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab pada Jumat (15/11/2024).
Soal percakapan telepon antara Presiden Rusia Vladimir Putin dengan Kanselir Jerman Olaf Scholz, Lavrov mempertanyakan maksud Jerman, Uni Eropa, dan NATO dengan mengatakan mereka akan berdiri bersama Ukraina selama diperlukan. "Diperlukan oleh siapa? Jelas bukan rakyat Ukraina," kata Lavrov.
Menanggapi laporan media yang mengatakan bahwa China tidak puas dengan kerja sama Rusia-Korea Utara, Lavrov menegaskan, kerja sama itu tidak akan mengganggu hubungan baik Rusia-China. "Tidak mungkin memecah belah Rusia dan China. Kami belum menerima pesan apa pun soal hubungan kami dengan Republik Rakyat Demokratik Korea," katanya.