REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Calon Pimpinan (Capim) KPK Johanis Tanak menginginkan operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK ditiadakan karena tidak sesuai dengan ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Menurut dia, OTT tidak tepat karena kata operasi adalah sesuatu hal yang telah dipersiapkan dan direncanakan. Lalu pengertian tangkap tangan berdasarkan KUHAP adalah peristiwa penindakan hukum yang pelakunya seketika langsung ditetapkan sebagai tersangka.
"Kalau ada satu perencanaan, operasi itu terencana, peristiwa yang terjadi suatu ketika itu tertangkap, ini suatu tumpang tindih yang tidak tepat," kata Johanis saat uji kelayakan dan kepatutan Capim KPK yang digelar Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa.
Selaku Wakil Ketua KPK periode ini, dia pun mengaku sudah menyampaikan ketidaksetujuan terhadap kegiatan OTT. Namun, kata dia, mayoritas di KPK mengatakan bahwa OTT merupakan sebuah tradisi.
"Tapi seandainya saya bisa jadi (Pimpinan KPK), mohon izin, jadi ketua, saya akan tutup, closed, karena itu tidak sesuai dengan pengertian yang dimaksud dalam KUHAP," kata pria yang berlatar belakang jaksa tersebut.
Ketika menyampaikan rencananya untuk meniadakan OTT, Johanis pun langsung disambut dengan tepuk tangan oleh orang-orang yang berada di ruangan rapat Komisi III DPR RI. Menurut dia, KPK seharusnya menjalankan ketentuan yang sesuai dengan undang-undang, bukan semata-mata berdasarkan logika.
Adapun Komisi III DPR RI menggelar uji kelayakan dan kepatutan terhadap enam orang Calon Pimpinan (Capim) KPK di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, yang merupakan hari kedua pelaksana ujian tersebut. Enam orang Capim KPK secara berurutan, yaitu Ida Budhiati (mantan Anggota DKPP), Ibnu Basuki Widodo (hakim), Johanis Tanak (Wakil Ketua KPK), Djoko Poerwanto (perwira tinggi Polri), Ahmad Alamsyah Saragih (mantan Anggota Ombudsman), dan Agus Joko Pramono (mantan Wakil Ketua BPK).
sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement