REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- IM57+ Institute mengkritisi Wakil Ketua KPK Johanis Tanak yang menggagas penghapusan operasi tangkap tangan (OTT) di lembaga antikorupsi tersebut. Gagasan tersebut diutarakan Tanak dalam sesi uji kepatutan dan kelayakan calon pimpinan (capim) KPK periode 2024-2029, di DPR RI, Selasa (19/11/2024).
IM57+ Institute merupakan wadah mantan pegawai KPK yang 'dipecat' di era Firli Bahuri tersebut mendorong supaya DPR dan Presiden jangan sampai keliru memilih pimpinan KPK. Ketua IM57+ Institute Lakso Anindito menyebut pernyataan Johanis Tanak tidaklah mengejutkan dengan melihat kondisi KPK selama masa kepemimpinannya. Apalagi ini dapat dihubungkan dengan berbagai catatan potensi etik yang pernah ada selama kepemimpinan Tanak di KPK.
"Pada sisi kinerja, minimnya prestasi KPK dalam pengungkapan kasus korupsi menjadi cerminan justifikasi Tanak untuk membenarkan apa yang dilakukan selama di KPK," kata Lakso dalam keterangan pers pada Rabu (20/11/2024).
Lakso mempermasalahkan pernyataan Tanak. Apalagi di saat yang sama instansi asal Tanak yaitu Kejaksaan Agung (Kejagung) mulai mengadopsi pendekatan OTT pada berbagai kasus yang memang dikenal dalam praktik pemberantasan kejahatan pada skala internasional.
"Suatu kejanggalan ketika praktik tersebut diterapkan dan diadopsi penegak hukum lain, malah KPK meninggalkannya. Padahal OTT adalah pintu masuk membongkar kejahatan yang lebih serius," ujar Lakso.
Lakso juga memandang hal ini seharusnya jadi ajang pembuktian bagi DPR dan Presiden untuk tak mengulangi kesalahan DPR dan Presiden pada pemilihan KPK sebelumnya. Lakso mengingatkan statemen-statemen kontroversial Firli Bahuri dalam uji publik di DPR lima tahun lalu ternyata terbukti membawa kehancuran pemberantasan korupsi pascaterpilih menjadi pimpinan KPK.
"Kalau DPR melakukan hal yang sama maka bukanlah kejutan bagi publik. Akan tetapi, apabila ternyata DPR merealisasikan janji perubahan KPK maka itu adalah legacy pemerintahan baru Indonesia," ujar Lakso.