REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Andalusia merupakan sebutan bagi wilayah kedaulatan Islam di Semenanjung Iberia. Sejak abad kedelapan, sebagian besar daerah di ujung barat Eropa itu berada dalam kendali Bani Umayyah.
Bahkan, pada 929 M Abdurrahman III memproklamasikan berdirinya kekhalifahan baru di sana, guna menyaingi Abbasiyah di Asia dan Fatimiyah di Afrika Utara. Kota Kordoba kemudian ditetapkannya sebagai pusat pemerintahan.
Memasuki abad ke-11 M, Kekhalifahan Kordoba kian bersengkarut akibat berbagai prahara politik. Akhirnya, negara Umayyah di Andalusia itu pun runtuh.
Dalam dua dekade, yakni 1010-1030 M, antarelite Muslim setempat hanyut dalam persaingan demi mempertahankan kekuasaan. Mereka berambisi melemahkan lawan-lawan politiknya yang sesungguhnya saudara seiman walaupun harus bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan Kristen di perbatasan.
Prof Raghib as-Sirjani dalam Bangkit dan Runtuhnya Andalusia (2013) menuturkan, sejumlah ulama dan bangsawan berkumpul di Kordoba pada 1031 M/422 H.
Pertemuan yang dipimpin qadi agung Kordoba Abu al-Hazm bin Jahur itu sampai pada kesimpulan yaitu tidak ada lagi kalangan Bani Umayyah yang layak untuk mengatur urusan negeri. Hadirin kemudian setuju untuk membentuk sebuah dewan syura yang berfungsi menjalankan roda pemerintahan negara.
Bagaimanapun, pengaruh para elite Kordoba sesungguhnya hanya menjangkau kota tersebut. Adapun bagian-bagian lainnya dari keseluruhan Andalusia tidak memedulikan (bekas) jantung kekuasaan Umayyah itu. Setiap dari mereka menganggap diri merdeka sepenuhnya.
Dengan perkataan lain, Andalusia benar-benar sudah terpecah. Yang dahulunya bersatu di bawah bendera yang sama, kini memaklumkan kedaulatan.