Jumat 22 Nov 2024 13:27 WIB

Ini Landasan Pemindahan Terpidana Mati Mary Jane ke Filipina Menurut Yusril

Indonesia dinilai banyak memiliki perjanjian bilateral dengan negara sahabat.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Teguh Firmansyah
Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Kemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra
Foto: Antara/Rangga Pandu Asmara Jingga
Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Kemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan Indonesia hingga kini belum memiliki undang-undang khusus yang mengatur tentang pemindahan narapidana ke negara asal.

Kebijakan pemindahan narapidana dapat dilakukan melalui kerangka perjanjian kerja sama dengan negara-negara sahabat dalam bentuk mutual legal assistance atau MLA. Bahkan, secara spesifik dilakukan berdasarkan kesepakatan perundingan bilateral dengan negara sahabat.

Baca Juga

Pernyataan Yusril ini disampaikan untuk menjelaskan dasar hukum kebijakan pemindahan terpidana mati kasus narkotika Mary Jane Veloso ke Filipina. Selain MLA, perundingan bilateral, kebijakan transfer of prisoners dapat pula dilakukan atas dasar diskresi presiden.

"Memang, belum ada aturan undang-undang yang mengatur tentang transfer of prisoners sampai sekarang. Juga belum ada yang mengatur tentang exchange of prisoners. Tapi kita memiliki banyak perjanjian kerja sama dengan negara-negara sahabat," kata Yusril dalam keterangan tertulis kepada media di Jakarta, Jumat (22/11/2024).

Yusril menegaskan Presiden berwenang merumuskan satu kebijakan dan mengambil suatu keputusan atas dasar pertimbangan kemanfaatan timbal-balik, kemanusiaan, hubungan baik kedua negara, pertimbangan hak asasi manusia.

Meskipun hal tersebut belum secara spesifik di atur dalam suatu peraturan perundang-undangan. Presiden dapat mengambil kebijakan berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

"Jadi walaupun tidak juga didasari oleh suatu peraturan perundang-undangan, tapi berdasarkan kepada MLA dan juga berdasarkan kepada kesepakatan para pihak dan juga diskresi dari presiden untuk mengambil satu keputusan, satu kebijakan. Ya karena undang-undang tidak mengatur, menyuruh tidak, melarang juga tidak, maka presiden berwenang untuk mengambil satu diskresi terhadap persoalan ini," ujar Yusril.

Yusril mencontohkan kerja sama bidang hukum antara Indonesia dengan Australia saat menyita aset pemilik Bank Harapan Sentosa (BHS) Hendra Rahardja dalam kasus penyalahgunaan kredit likuiditas Bank Indonesia. Pemerintah Australia bersedia menindaklanjuti vonis pengadilan di Indonesia.

"Pada waktu saya jadi Menteri Kehakiman, saya bertemu Jaksa Agung Australia, Daryll Williams, dan mencapai satu kesepakatan: Pemerintah Australia mengakui putusan Pengadilan Jakarta Pusat dan mengeksekusi putusan pengadilan Indonesia tersebut di Australia. Dan beberapa aset harta dari Hendra Rahardja itu kemudian disita oleh pemerintah Australia," ujar Yusril.

"Jadi sudah ada preseden, walaupun tidak dalam konteks transfer of prisoners, tapi dalam hal melaksanakan putusan pengadilan Indonesia di negara lain, sudah ada presedennya di masa yang lalu," kata Yusril.

Oleh karena itu Yusril berharap pemerintah dan DPR akan segera menyusun undang-undang yang khusus mengatur terkait pemindahan dan pertukaran narapidana. Ini mengingat cukup banyak napi WNI yang mendekam di negara lain seperti Malaysia dan dulu di Saudi Arabia.

"Maka sangat mungkin sekali nantinya akan dilakukan pembicaraan dengan DPR untuk menyusun undang-undang tentang transfer of prisoners and exchange of prisoners ini," ujar Yusril.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement