REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia akan kembali akan menggelar pesta demokrasi dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024. Seperti pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Wapres) awal tahun 2024, politisasi agama masih menjadi momok bagi suksesnya pelaksanaan pesta demokrasi di Indonesia.
Peneliti Komunikasi Politik, Effendi Gazali menyerukan untuk mewaspadai fenomena politisasi agama di masa-masa Pilkada 2024, yang akan berlangsung serentak pada 27 November 2024. Effendi menilai fenomena cukup berbahaya jika digunakan hanya untuk meraup elektoral semata yang dapat mengganggu kerukunan dan persatuan, serta stabilitas politik di Indonesia.
Menurutnya, ketika agama digunakan sebagai alat politik, sering kali muncul distorsi dalam penyampaian pesan keagamaan yang seharusnya netral. Hal ini membuat orang menganggap bahwa pandangan tertentu adalah kebenaran absolut, hanya karena dikemas dalam komunikasi religiusitas untuk mengatasi hambatan-hambatan atau batas fisik.
“Orang bisa membayangkan diri segera ke surga dengan segala keindahan yang sangat amat indah dibandingkan dengan masalah-masalah yang sedang dihadapi di dunia nyata,” ucap Effendi Gazali di Jakarta, Rabu (19/11/2024).
Akibatnya, Effendi menambahkan, objektivitas dalam pengambilan keputusan, baik secara pribadi maupun kolektif, menjadi bias. “Jadi ukuran keadilan, kebenaran, hak asasi, hukum, kesuksesan ekonomi, kesejahteraan hidup, kebebasan beragama sudah diukur berdasarkan politisasi agama yang diajukan,” kata Effendi.
Doktor lulusan Radboud University ini mengungkapkan politisasi agama merupakan salah satu strategi komunikasi politik tertinggi, mulainya masuk dari interpersonal lalu bersahut-sahutan dengan komunikasi intrapersonal yang membuat pertahanan batin seseorang menjadi lemah. Salah satu ciri penggunaan politisasi agama adalah adanya klaim-klaim penderitaan dan ketidakadilan yang dikaitkan dengan unsur dan nilai agama.
Effendi berpendapat sulit untuk memerangi politisasi agama di era keterbukaan informasi ini. Menurutnya, aspek religius merupakan bagian dari kehidupan, tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sosial dan politik. Untuk itu, ia menyerukan nilai nilai kebangsaan dan agama tetap harus diutarakan secara sejuk berbarengan di dalam politik.
“Komunikasi religiusitas kini tumbuh sebagai bidang ilmu yang terus menggali itu. Isu-isu ini harus didiskusikan dan tidak dibiarkan ditaruh di bawah karpet,” kata Effendi.
Effendi menegaskan pentingnya membangun narasi dan diskusi positif baik di lingkungan rumah, kampus maupun di dunia maya untuk mengimbangi narasi negatif yang disebar oleh oknum penyebar politisasi agama. Selain itu, dibutuhkan peran tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam menjaga stabilitas sosial dan menguatkan persatuan anak bangsa.
“Amat penting mengajak tokoh-tokoh ulama yang dalam, sejuk, dan diterima rakyat," katanya.
Selain itu, lelaki kelahiran Padang, 5 Desember 1966 ini juga menyatakan pentingnya mengedukasi generasi muda agar lebih peka terhadap bahaya politisasi agama dalam narasi politik. Dibutuhkan kedewasaan dalam mencari dan mengelola informasi di media sosial.
“Media sosial kata kunci bagi generasi muda, kita ajak sebagian anak muda menjadi peduli dengan isu ini,” tandas Effendi.