REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebelum berkarier di militer, Sudirman pernah menjadi guru. Ceritanya bermula sejak 1934, ketika ia lulus dari MULO Wiworotomo. Ada lowongan untuk mengajar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Muhammadiyah--setingkat sekolah dasar (SD) kini.
Sempat muncul masalah, yakni Sudirman belum punya ijazah mengajar. Untuk menyiasati hal itu, ia pun menerima bahwa jenjangnya nanti hanya sekadar guru biasa—tidak menerima tunjangan dari pemerintah. Kemudian, ia menemui guru-guru senior HIS Muhammadiyah untuk menimba ilmu mengajar. Dari sini perjalanannya sebagai guru dimulai.
Sardiman dalam bukunya, Panglima Besar Jenderal Sudirman: Kader Muhammadiyah (2000) mengutip kesaksian Marsidik (72 tahun saat diwawancara), seorang mantan murid Sudirman pada 1934-1937.
Marsidik memaparkan, Pak Dirman menjadi guru di kelas yang berisi murid sebanyak 30-an orang anak. Satu kelas dipisahkan kain tipis antara murid laki-laki dan perempuan.
Menurut dia, Pak Dirman pandai mengajar. “Penyampaian materinya tidak kering atau tegang. Beliau kerap berguyon ringan, mengajarkan nilai agama dan nasionalisme,” katanya. Apakah ia seorang guru yang galak? “Pak Dirman tidak pernah galak atau keras kepada siswanya. Wajahnya menyenangkan. Bibirnya yang tebal dan merah serta lagaknya yang lincah selalu membuat kami tertawa apabila ia bergurau,” lanjut Marsidik.
Sudirman juga pintar membina relasi dengan sesama rekan pengajar. Sampai akhirnya dalam satu pemilihan kepala sekolah, Pak Dirman yang tanpa ijazah guru resmi itu malah terpilih menjadi kepala HIS Muhammadiyah Cilacap. Namun, oleh Belanda lembaga pendidikan itu kemudian dipaksa tutup.