REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Dana Anak-anak PBB (UNICEF) mengatakan hampir 40 persen dari 3,4 juta pengungsi di Myanmar merupakan anak-anak. Para pengungsi terpaksa pindah karena perang sipil dan bencana alam terkait cuaca.
Myanmar mengalami gejolak politik dan kekerasan sejak militer mengudeta pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi pada 2021. Junta militer kemudian menggelar operasi untuk menekan lonjakan pemberontakan kelompok-kelompok pro-demokrasi.
Negara itu juga dilanda Badai Yagi pada bulan September lalu. Bencana ini memicu banjir yang menewaskan lebih dari 400 orang dan memaksa ratusan ribu lainnya mengungsi dari rumah mereka.
Wakil direktur eksekutif UNICEF, Ted Chaiban mengatakan krisis kemanusiaan di Myanmar mencapai titik kritis. Ia menambahkan meningkatnya konflik dan guncangan iklim menempatkan anak-anak dan keluarga pada risiko yang belum pernah terjadi sebelumnya.
"Lebih dari 3,4 juta orang mengungsi di seluruh negeri, hampir 40 persen di antaranya adalah anak-anak, ” kata Chaiban seperti dikutip dari media independen Myanmar, yang berbasis di India, Mazzima.
Mazzima melaporkan junta menggunakan serangan udara dan artileri untuk menghukum masyarakat sipil. Pertempuran tersebut, serta peristiwa iklim yang parah seperti Topan Yagi, telah memberikan dampak yang menghancurkan pada anak-anak. Anak-anak terpaksa ikut mengungsi, rentan terhadap kekerasan, dan terputus dari layanan kesehatan dan pendidikan.
Ia mengatakan, pada 15 November lalu, tujuh anak dan dua warga sipil tewas dalam serangan yang menghantam kompleks gereja di Kachin di mana anak-anak sedang bermain sepak bola. Negara bagian Kachin di utara Myanmar merupakan tanah kelahiran Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA), salah satu dari berbagai kelompok bersenjata etnis minoritas yang menguasai wilayah di utara dan berjuang melawan junta.
Tahun ini setidaknya 650 anak telah terbunuh atau terluka dalam kekerasan di negara tersebut tahun ini. Anak-anak di bawah umur juga merupakan sepertiga dari lebih dari 1.000 korban sipil yang tewas akibat ranjau darat dan bahan peledak, menurut Chaiban.
“Meningkatnya penggunaan senjata mematikan di wilayah sipil, termasuk serangan udara dan ranjau darat yang menghantam rumah, rumah sakit, dan sekolah, telah sangat membatasi ruang aman yang sudah terbatas bagi anak-anak, merampas hak mereka untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan,” katanya.