REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim COP 29 di Baku, Azerbaijan telah menyepakati pembiayaan iklim (New Collective Quantified Goal/NCQG) senilai 300 miliar dolar Amerika Serikat (AS) per tahun bagi negara berkembang. Skema pembiayaan yang lebih progresif sangat krusial agar upaya mitigasi krisis iklim tidak membebani perekonomian negara berkembang seperti Indonesia.
Direktur Eksekutif Center for Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira mengatakan, mekanisme NCQG sebaiknya diadopsi Indonesia untuk membuka ruang pendanaan transisi energi yang lebih progresif dibandingkan dengan yang disepakati dalam Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (JETP). Pasalnya, pembiayaan melalui JETP lebih banyak berupa utang, yang dikhawatirkan justru menjadi beban fiskal Indonesia.
"Pemanfaatan dana publik dari negara maju berbentuk hibah yang lebih besar, dan opsi penghapusan utang, penting untuk memberikan ruang fiskal bagi percepatan transisi energi," kata Bhima, dalam keterangannya di Jakarta, Senin (25/11/2024).
Ia mencontohkan, NCQG dapat digunakan untuk proyek pensiun PLTU yang terhambat APBN, dan kebutuhan keuangan PLN bisa didanai melalui mekanisme debt swap atau debt cancellation. Pembiayaan NCQG berupa hibah juga dapat digunakan untuk mengembangkan proyek-proyek pembangkit listrik berbasis surya, mikrohidro, dan angin, transmisi, serta baterai penyimpanan.
Managing Director Energy Shift Institute (ESI), Christina Ng mengungkapkan negara-negara berkembang sangat membutuhkan dukungan finansial (melalui NCQG). Tetapi untuk mewujudkannya diperlukan reformasi sistemik, rencana ekonomi hijau yang konkret, dan iklim investasi yang lebih baik untuk investasi swasta domestik.
"Negara maju juga harus bertanggung jawab atas peran mereka dalam krisis iklim, dengan memberikan lebih banyak pinjaman lunak.”
Pembiayaan iklim yang disepakati di COP29 sebesar 300 miliar dolar AS per tahun juga lebih rendah dari yang dibutuhkan negara-negara berkembang. Mengacu draf NCQG, pembiayaan yang dibutuhkan negara berkembang dalam Nationally Determined Contributions (NDCs) mereka mencapai 5-6,8 triliun dolar AS hingga 2030.
"Komitmen NCQG sangat jauh dari pembiayaan yang dibutuhkan. Negara maju telah menolak bekerja sama dan justru membongkar omong kosong mereka tentang urgensi situasi saat ini. Apa yang disebut sebagai peta jalan oleh Presidensi COP29 untuk mencapai 1,3 triliun dolar AS per tahun pada 2035 masih belum jelas, dan tidak ada jalur yang jelas untuk menuju ke sana,” tutur Climate and Energy Policy Analyst, Thomas Houlie.
Bhima menambahkan, perlu dipastikan pembiayaan iklim baru yang disepakati bukan sekadar program lama yang diklaim negara maju sebagai program baru dalam NCQG. Misalnya, bila asistensi teknis dari negara donor sebelum adanya NCQG diklaim ulang sebagai realisasi pendanaan baru, maka klaim itu tidak dibenarkan.
"Kehadiran NCQG seharusnya memberi ruang yang lebih ambisius agar setiap pendanaan berbasis pada transparansi dan realisasinya, bukan sekadar komitmen semata,” tuturnya, menegaskan.
Direktur Eksekutif CERAH, Agung Budiono mengatakan bahwa masyarakat harus memantau porsi hibah dan utang yang ada di dalam NCQG, jika nantinya memperoleh pembiayaan ini. Pasalnya, pembiayaan NCQG tidak memandatkan pembiayaan harus 100 persen berasal dari hibah. "Adanya celah untuk utang masuk ke dalam NCQG harus dipantau dengan seksama. Idealnya, alokasi dana hibah mendominasi NCQG. Pembiayaan ini seharusnya menjadi bukti nyata dari negara maju untuk membantu negara-negara yang terdampak krisis iklim. Namun, jika lebih banyak berbentuk utang, malah akan mempersulit negara-negara berkembang,” ucap Agung.
Negosiasi terkait NCQG menjadi topik utama dalam pembahasan di KTT Perubahan Iklim COP 29 di Baku, Azerbaijan. NCQG merupakan target pembiayaan iklim yang akan menggantikan komitmen pembiayaan iklim yang sebelumnya sebesar 100 miliar dolar AS per tahun sejak disepakati di COP 15 pada 2009.