Rabu 27 Nov 2024 09:12 WIB

Siapa Pangeran Jayakarta yang Diziarahi Ridwan Kamil

RK sempat melaksanakan sholat subuh berjamaah di Masjid Jami Assalafiyah

Rep: Bayu Adji P/ Red: Fitriyan Zamzami
Pekerja sedang membaca alquran di Masjid Assalafiyah, masjid yang riwayatnya dibangun Pangeran Jayakarta di  Jatinegara Kaum, Jakarta.
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Pekerja sedang membaca alquran di Masjid Assalafiyah, masjid yang riwayatnya dibangun Pangeran Jayakarta di Jatinegara Kaum, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Calon gubernur (cagub) Jakarta nomor urut 1 Ridwan Kamil melakukan ziarah ke Makam Pangeran Jayakarta, Jakarta Timur, sebelum mencoblos di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024, Rabu (26/11/2024). Siapa sebenarnya penguasa tersebut?

 

Berdasarkan pantauan Republika, RK sempat melaksanakan sholat subuh berjamaah di Masjid Jami Assalafiyah, yang juga berlokasi di kompeks Makam Pangeran Jayakarta. Ia menilai, masjid itu memiliki peran penting lantaran di dalamnya terdapat makam Pangeran Jayakarta, yang dalam sejarahnya merupakan sosok yang menaklukkan Sunda Kelapa dulu dengan sebuah semangat perjuangan. "Jadi, semangat itu yang mungkin menguatkan secara kebatinan," kata RK.

Pengran Jayakarta sedianya bukanlah penakluk Sunda Kelapa. Ia adalah penguasa Jayakarta, yang menjabat sebagai wakil dari Kesultanan Banten. Ia penerus penaklukkan yang dilakukan oleh Fatahillah beserta pasukan dari Cirebon yang mengusir Portugis pada abad ke-16.

Pada awal awab ke-17, penguasaan atas wilayah ini berhasil direbut oleh Belanda, setelah Pangeran Jayakarta dikalahkan oleh pasukan VOC di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen pada 30 Mei 1619. Keraton kesultanan itu dihancurkan dan belasan ribu warganya mengungsi.

Merujuk wartawan senior Republika, Alwi Shahab (semoga Allah merahmatinya), pada 31 Mei 1619 Pangeran Ahmad Jakatra, nama lain Pangeran Jayakarta mendirikan sebuah negara di pengasingan. Ia membangunnya setelah istananya, perkampungan penduduk dan sebuah masjid dibumihanguskan Belanda. 

Istana dan perkampungan itu terletak antara Pasar Ikan – Jakarta Kota, yang oleh VOC atau Kompeni di atasnya dibangun Kota Batavia. Pangeran dan para pengikutnya hijrah ke Jatinegara Kaum, Pulogadung, Jakarta Timur yang saat itu masih berupa rawa-rawa dan hutan belukar. Di tempat yang kini terletak antara penjara Cipinang dan Pulogadung inilah, pangeran mendirikan negara di tempat pengasingannya yang baru itu. Ia menamakannya Jatinegara atau negara sejati.

photo
Pekerja sedang membersihkan pemakaman di kompleks Masjid Assalafiyah, Jatinegara Kaum, Jakarta. - (Republika/ Tahta Aidilla)

Di tempat ini, pangeran juga membangun sebuah masjid, mencontoh Rasulullah saat hijrah dari Makkah ke Madinah. Dari masjid yang kini bernama Ash-Salafiyah, pangeran dan pengikutnya bersumpah untuk merebut kembali Jayakarta. Sekalipun upaya ini tidak berhasil, tapi para prajurit Islam ini telah berhasil selama puluhan tahun mengusik Belanda untuk tidak pernah tenang.

Tambahan ‘Kaum’ hingga menjadi Jatinegara Kaum, karena selama ratusan tahun kampung ini hanya ditinggali para kerabat, sehingga menjadi kampung tertutup. Bahkan untuk menjaga keberadaan makam Pangeran, mereka selama ratusan tahun melakukan pernikahan sesama saudara sepupu.

Sekalipun kini sudah banyak pendatang baru, tapi lebih dari separuhnya masih ditinggali oleh keturunan pangeran. Pada masa pendudukan Jepang (1942), sebutan Batavia diganti dengan Jakarta, sedangkan Mester Cornelis menjadi Jatinegara.

Ketika VOC menaklukkan Jayakarta, daerah ini masih berada di bawah kekuasaan Banten. Karena itu hubungannya dengan Banten tidak pernah putus. Apalagi dengan kedatangan dua putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, masing-masing Pangeran Sageri dan Pangeran Sake pada 1640. Keduanya di samping panglima perang, juga merupakan juru dakwah yang handal.

Pangeran Sageri jadi da’i yang beken di sekitar Jatinegara Kaum hingga Bekasi, dan Pangeran Puger di Jawa Barat. Di tempatnya yang baru ini, Pangeran Ahmad Jakatra menyampaikan wasiat kepada anak keturunannya.

Mereka dilarang memberitahukan letak makamnya. Hingga makam pangeran dan keluarganya yang terletak di samping kompleks masjid baru diketahui 1956. Mereka juga diminta untuk berbahasa Sunda dalam pergaulan sehari-hari.

Yang hingga kini masih dipatuhi para orang tua, sementara generasi mudanya tidak bisa berbahasa Sunda. Ini dimaksudkan oleh pangeran untuk merahasiakan identitas mereka, mengingat Belanda selalu mengejar-ngejarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement