Kamis 28 Nov 2024 16:20 WIB

Ekonom Soroti Insentif Bansos Sebagai Bantalan Kenaikan PPN 12 Persen

Banyak reaksi warga net yang menolak rencana kenaikan PPN.

Rep: Frederikus Dominggus Bata/ Red: Lida Puspaningtyas
Seorang petugas memeriksa sayuran di salah satu swalayan di Kota Gorontalo, Gorontalo.
Foto: ANTARA/Adiwinata Solihin
Seorang petugas memeriksa sayuran di salah satu swalayan di Kota Gorontalo, Gorontalo.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Center of Economic and Lawa Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira Adhinegara merespon isu terbaru perihal Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Semula pemerintah akan memberlakukan PPN 12 Persen mulai awal Januari tahun depan.

Itu sesuai ketetapan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Belakangan ada potensi penundaan implementasinya. Ini menurut pernyataan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan.

Baca Juga

Bhima mengingatkan masyarakat, pemerintah tidak membatalkan atau hanya menunda. Artinya, tarif PPN 12 persen akan tetap berlaku pada 2025.

Menurutnya, rencana pemerintah untuk terlebih dahulu memberikan bantuan sosial sebagai stimulus, atau subsidi kepada masyarakat menengah ke bawah, tetap menjadi kebijakan beresiko tinggi.

"Apabila bantuan diberikan, 2-3 bulan kemudian tarif PPN tetap naik menjadi 12 persen, maka dampak ke ekonomi tetap negatif. Bantuan hanya bersifat temporer, sementara kenaikan tarif PPN 12 persen akan berimbas pada jangka panjang," kata Bhima kepada Republika, Kamis (28/11/2024).

Ia menilai, tidak semua kelompok masyarakat yang terdampak kenaikan PPN, khususnya kelas menengah, mendapat kompensasi. "Hampir sulit ya jumlah kelas menengah yang disebut aspiring middle class saja ada 137,5 juta orang. Berapa banyak alokasi bansos nya juga belum jelas," katanya.

Sementara, jelas Bhima, kenaikan inflasi bahkan terjadi sebelum kebijakan tarif PPN 12 persen berlaku di Januari 2025. Terdapat fenomena pre-emptives inflation atau inflasi yang mendahului tarif pajak baru. Pre-emptives inflation berasal dari perilaku sebagian pelaku sektor usaha ritel, dan manufaktur yang menyesuaikan label harga untuk menjaga marjin keuntungan sebelum pemberlakuan tarif PPN yang baru.

"Kekhawatiran pre-emptives inflation bisa dibaca dari ekspektasi kenaikan harga pada akhir tahun 2024 hingga kuartal I 2025, selain karena momentum seasonal libur natal tahun baru, terindikasi akibat pemberlakuan tarif PPN 12 persen. Fenomena pre-emptives inflation akan membuat proyeksi inflasi 2025 jauh lebih tinggi dibanding 2024," jelas Bhima.

Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyu Askar turut berbicara. Menurutnya penundaannya hanya tiga bulan. Ia menilai ini strategi pemerintah untuk meredam kritik publik.

"Tetapi pada dasarnya hanya menggeser waktu implementasi," ujar Wahyu.

Ia menerangkan, subsidi bansos yang ditawarkan sebagai kompensasi di awal penerapan kenaikan juga tidak mampu sepenuhnya mengimbangi dampak negatif yang dirasakan masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah. Kenaikan PPN yang bersifat regresif ini cenderung membebani kelompok rentan lebih berat, karena sebagian besar pendapatan mereka dialokasikan untuk konsumsi kebutuhan pokok yang harganya akan meningkat.

Sebelumnya, Ketua DEN, Luhut Pandjaitan mengatakan kenaikan PPN yang diundur karena pemerintah berencana memberikan insentif terlebih dahulu kepada masyarakat. Tepatnya berupa bansos untuk kelas menengah ke bawah. Golongan ini paling terdampak isu tersebut.

Namun, bansos yang akan diberikan, bukan berupa bantuan langsung tunai (BLT). Pemerintan ingin memberikan subsidi energi ketenagalistrikan.

Anggaran bansos ini sudah disiapkan melalui APBN. Nantinya segera diselesaikan rancangan penyalurannya. Ia memahami apabila muncul pro-kontrak.

Masyarakat kelas menengah ke bawah dan berbagai elemen lainnya, menolak. Menurut Luhut itu karena banyak yang belum sepenuhnya mengetahui bagaimana pengaturan kenaikan PPN ini.

Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto merasa perlu mengkritisi hal ini. Ia sudah sering menyampaikan ke publik perihal pemikirannya. Ia akan terus melakukan hal serupa jika tak ada perubahan.

Menurut Eko, saat ini situasi ekonomi sedang melemah. Ia heran pemerintah masih saja teguh pada apa yang akan ditetapkan. Banyak masyarakat terdampak dari kenaikan PPN itu.

"Itu seperti jatuh tertimpa tangga, dan yang lebih penting lagi, di mana kepekaan para pembuat kebijakan terhadap situasi ekonomi," kata Eko dalam sebuah diskusi yang digagas INDEF bertajuk "Tantangan Pelik Kabinet Baru: Meningkatkan Daya Beli, Menopang Industri", di Jakarta, Kamis (21/11/2024).

Sebagai analis big data, ia berhubungan dengan aktivitas di dunia maya. Banyak reaksi warga net yang menolak rencana kenaikan PPN itu dengan beragam argumentasi mereka.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement