REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam fikih siyasah Islam, dasar kebijakan dan tindakan pemimpin adalah kemaslahatan umum. Dikatakan, "tasharruf al-imam `ala al-ra`iyyah manuthun bi al-mashlahah." Tindakan pemimpin atas rakyat terikat oleh kemaslahatan umum. Jadi, pemimpin wajib bertindak tegas demi kebaikan bangsa, bukan kebaikan diri dan kelompoknya semata.
Kaidah tersebut diturunkan dari moral kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, seperti diterangkan dalam Alquran. Firman Allah dalam surah at-Taubah ayat 128, artinya, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”
Sekurang-kurangnya, ada tiga sifat kepemimpinan yang ditampilkan Rasulullah SAW, yakni berdasarkan keterangan ayat di atas.
Pertama, "azizin alaihi ma anittum" (berat dirasakan oleh Nabi SAW penderitan orang lain). Dalam bahasa modern, sifat ini disebut sebagai sense of crisis, yaitu kepekaan pada kesulitan rakyat. Hal itu ditunjukkan dengan kemampuannya bersimpati dan berempati pada pihak-pihak masyarakat yang kurang beruntung.
Empati berarti kemampuan memahami dan merasakan kesulitan orang lain. Itu lantas mendorong simpati, yaitu dukungan, baik moral maupun materiel, untuk mengurangi penderitaan orang yang mengalami kesulitan.