Kamis 28 Nov 2024 20:26 WIB

Pengamat: Diadakannya Stimulus Sebelum Kenaikan PPN 12 Persen Pendekatan Keliru 

Kebijakan semacam itu berpotensi hanya menjadi solusi jangka pendek.

Rep: Eva Rianti / Red: Gita Amanda
Pemerintah berencana menaikan PPN menjadi 12 persen. (ilustrasi)
Foto: Republika/Thoudy Badai
Pemerintah berencana menaikan PPN menjadi 12 persen. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Next Policy Muhammad Anwar menilai pernyataan bahwa pemerintah akan memberikan stimulus kepada masyarakat sebagai langkah sebelum kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen merupakan hal yang tidak bijak. Pernyataan tersebut diketahui disampaikan oleh Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan saat menanggapi soal kebijakan PPN 12 persen yang tengah ramai mendapat respons penolakan dari publik.  

Anwar mengatakan, sebenarnya segala upaya pemerintah untuk menstimulasi ekonomi kelompok kelas menengah bawah yang saat ini tengah mengalami tekanan patut mendapat apresiasi. Sebab hal itu menunjukkan perhatian terhadap kondisi masyarakat yang rentan. 

Baca Juga

“Namun, jika stimulus diberikan dengan tujuan mempersiapkan masyarakat agar dapat menghadapi kenaikan PPN menjadi 12 persen, pendekatan tersebut sangatlah keliru dan tidak bijak, terutama karena stimulus tersebut bersifat sementara sementara kenaikan PPN bersifat permanen,” kata Anwar saat dihubungi Republika, Kamis (28/11/2024). 

Ia menuturkan, kebijakan semacam itu berpotensi hanya menjadi solusi jangka pendek, tanpa mengatasi akar persoalan. 

Menurutnya, stimulus yang diberikan selama tiga bulan mungkin saja, dalam skenario optimistis, mampu mendorong sedikit perbaikan pada daya beli dan perekonomian masyarakat. Tetapi, ketika stimulus itu selesai dan PPN yang lebih tinggi mulai berlaku, beban finansial yang timbul dari kenaikan pajak akan segera menggerus kembali daya beli mereka.

“Kami meyakini bahwa tanpa perbaikan struktural pada ekonomi masyarakat, kondisi ekonomi kelompok menengah bawah akan kembali terpuruk setelah periode stimulus berakhir,” tuturnya. 

Menurut pandangannya, pemberian bansos kepada kelas menengah –yang misalnya- selama tiga bulan saja, dalam konteks penundaan kenaikan PPN sebesar 12 persen, itu tidak akan cukup untuk mengatasi kejatuhan ekonomi yang mereka alami, apalagi mengembalikan mereka ke posisi sebelum terpuruk.

Tiga langkah mitigasi 

Anwar menilai pemerintah perlu memandang lebih strategis mengenai cara-cara dalam menghadapi tantangan kenaikan PPN menjadi 12 persen. Sebab, diketahui belakangan ini berbagai pihak, baik masyarakat umum, terutama kalangan menengah, maupun para pengusaha menolak kebijakan tersebut. 

“Untuk mendukung kelas menengah secara berkelanjutan dan menghadapi tantangan kenaikan PPN, langkah-langkah mitigasi yang lebih strategis daripada sekadar pemberian bansos tunai maupun barang harus diutamakan,” ujarnya.  

Ia menilai setidaknya ada tiga langkah yang bisa dipertimbangkan atau diambil oleh pemerintah. Pertama, pengurangan beban kebutuhan pokok. Pemerintah perlu memastikan barang dan jasa kebutuhan pokok tetap terjangkau, terutama bagi kelas menengah dan bawah. Langkah ini dapat dilakukan dengan memperluas daftar barang dan jasa yang bebas PPN atau dikenakan tarif PPN yang lebih rendah. 

“Dengan begitu, barang seperti bahan makanan, layanan kesehatan, pendidikan, serta transportasi publik tidak terdampak langsung oleh kenaikan tarif PPN. Hal ini akan menjaga daya beli masyarakat dan melindungi konsumsi domestik sebagai pilar utama perekonomian,” terangnya. 

Kedua, subsidi langsung berbasis konsumsi utama seperti untuk listrik, bahan bakar, atau transportasi publik, harus diberikan kepada rumah tangga kelas menengah dan bawah. “Pendekatan ini lebih efisien dibanding bansos umum karena langsung menyasar pengeluaran terbesar mereka,” kata dia. 

Ketiga, dukungan pada sektor UMKM dan wirausaha kecil. Banyak kelas menengah bergantung pada sektor UMKM dan wirausaha kecil sebagai sumber penghasilan. Pemerintah harus memberikan kebijakan khusus seperti kredit murah dengan bunga rendah, akses pelatihan dan teknologi untuk meningkatkan daya saing, serta pembukaan pasar melalui program kemitraan atau promosi produk lokal. 

“Dukungan ini tidak hanya membantu kelas menengah tetap bertahan tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi lokal yang berkelanjutan,” tutupnya. 

Sebelumnya diketahui, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan, pemerintah berencana untuk memundurkan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen yang pada awalnya bakal diterapkan pada 1 Januari 2025.  

“Ya hampir pasti diundur,” kata Luhut di Jakarta, Rabu.

Menurut Luhut, penerapan kenaikan PPN yang diundur itu karena pemerintah berencana untuk memberikan stimulus atau insentif terlebih dahulu kepada masyarakat melalui bantuan sosial ke kelas menengah.

“PPN 12 persen sebelum itu jadi, harus diberikan dulu stimulus kepada rakyat yang ekonominya susah,” katanya.  

Luhut mengatakan, bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah sebagai bantalan dalam penerapan PPN 12 persen, tidak akan berupa bantuan langsung tunai (BLT), melainkan subsidi energi ketenagalistrikan.  

“Tapi diberikan itu ke listrik. Karena kalau diberikan nanti ke rakyat takut dijudikan lagi nanti,” katanya. 

Luhut menuturkan, untuk anggaran bantuan sosial tersebut sudah disiapkan pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), serta segera diselesaikan rancangan penyalurannya. 

Sementara itu, mengenai gelombang penolakan kenaikan PPN 12 persen di media sosial, Ketua DEN itu menyatakan, hal tersebut hanya karena ketidaktahuan masyarakat terkait struktur kenaikan.  “Ya karena orang kan belum tau ini, struktur ini,” ujarnya. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement